Jumat, 25 Juni 2010

Kereta Api GajaYana : Secarik Kertas Catatan


Mendambakan naik kereta api eksekutif mahal akhirnya sore itu tercapai juga. Alhamduliilah. Jarang naik kereta eksekutif jarang pula kaki ini menapak di lantai stasiun Gambir. Karna stasiun Gambir dikususkan untuk calon penumpang kereta eksekutif nan mahal untuk ukuran rakyat jelata sepertiku. Namun tidak akan menyesal karna perjalanan kali ini cukup jauh dan lama. Menuju kota Malang markasnya Arema di jawa timur sana.

Suasana stasiun Gambir tentu berbeda dengan stasiun lain. Penyajian interior ruangan dan segala aneka barang dagangannya memang tarafnya berkelas. Diperuntukkan bagi mereka yang berkantong tebal.

Begitupun wajah-wajah calon penumpang yang memadati stasiun ini dengan penampilan busananya memberi kesan berkelas dari kalangan berpunya.

Memasuki gerbong kereta api eksekutif ini, disambut dengan senyum selamat datang dari dayang-dayang kereta alias pramugari atau pramugaranya. Sejuk nian gerbong ini dengan aroma mewanginya. Jauh dari parfum amoniak yang biasa kujumpai di gerbong kereta ekonomi. Empuknya kursi yang bisa tersandar kebelakang membuat pinggangku yang akrab dengan encok di bangku kereta ekonomi, kali ini dimanjakan sangat. Apalagi pantat ini yang biasa panas menunggu kereta silang, kali ini tak terasakan.

Belum lagi hiburan film yang ada di view depan gerbong kereta berklas ini. Dan pemeriksaan karcispun hanya sekali. Dengan penampilan kondektur yang keren berjas, sungguh nyaman perjalanan kali ini.






Tidak ada pula suara-suara brisik dari pedagang asongan yang kadang bersynergy dengan pengemis dan pengamen. Dan para penjaja ' oleh-oleh' hanya di lakukan oleh dayang kereta yang hilir mudik menawarkan hidangan kuliner kereta yang sudah tentu mesti membayar untuk merasakannya. Soal harga tak usah ditanya. Semua disajikan bagi mereka yang dompetnya penuh kertas uang. Bukan seperti dompetku yang banyak pula kertasnya. Tapi kertas kuitansi pembelian ini itu.


Usai sholat magrib kumerenung. Seiring gelapnya malam yang datang menyelimut.
Kalo di dunia saja kita dibedakan karna status sosial ekonomi yang fana nan semu. Apatah lagi nanti di akherat. Taqwa yang membedakan derajat kita kelak di sisi sang khaliq.

Alangkah bahagia dan lapangnya dada ini menghirup nafas kehidupan manakala uang di saku terlipat berlipat-lipat. Bisa naik kereta mahal yang diprioritaskan jalannya. Tidak seperti kereta ekonomi yang slalu kalah karna dikalahkan. Semua indah karna perbekalan yang lebih dari cukup. Maka terusik hati ini saat menyruput hangatnya kopi susu di dinginnya gerbong Gajayana, karna perbekalan perjalanan panjang abadi di akherat masih sangat kurang.

Senyum dayang kereta yang menyapa.
Akan kita temui kelak di akherat. Senyum bidadari sorga yang menyambut datangnya hamba yang taat. Sebaliknya pemeriksaan dan penyiksaan yang berulang-ulang akan kita jumpai dengan wajah seram menakutkan bila bekal kebajikan minim. Bangga dengan dosa yang terbungkus nafsu. Ternyata membawa siksa pedih kelak.

Cemas takut manakala tidak punya karcis kereta. Saat diperiksa oleh kondektur. Begitupun cemas takut yang sangat di kala malaikat munkar nakir memeriksa kita di alam kuibur yang sempit gulita.
Akhirnya ku terlelap di empuknya buaian kereta Gajayana yang melaju kencang teriring doa Rabbana Atiinaa Fiddunyaa Hasanah Wa Fil Akhiraaati Hasanah Wa Qinaa Adzaban Naaar Amiiiiin

3 komentar:

  1. Tulisan yg sangat bagus, bisa mjd bahan muhasabah kita semua

    BalasHapus
  2. Mari kita siapkan tiket untuk ke surga, bukan sekedar tiket kereta eksekutif.

    BalasHapus

Artikel terkait lainnya