Jumat, 31 Desember 2010

Di Pinggir Jalan Old And New


Malam pergantian tahun. Sebenarnya bagi orang desa sepertiku, tidak ada bedanya antara tahun lama dan tahun baru. Sejak kecil aku tidak pernah diajarkan orangtua untuk meniup terompet atau membakar ikan manakala pergantian tahun.

Namun sejak lima tahun merantau di Jakarta sebagai sopir, dan bergaul dengan masyarakat sekitar tempat tinggalku, akhirnya tanpa bisa menolak pada setiap pergantian tahun, akupun ikut-ikutan membakar ikan dan meniup terompet. Bahkan anakku yang masih berumur 4 tahun sudah mengoleksi sejumlah terompet.

Seusai sholat Isya, di lapangan kecil samping rumah, sudah berkumpul sejumlah orang tua dan mayoritas anak muda beserta anak kecil. Ada yang mempersiapkan pembakaran ikan. Adapula yang mempersiapkan sound system untuk karaoke maupun joget dangdutan. Untuk yang mencoba membawa 'miras' kami para warga sepakat untuk melarangnya.

Tetangga depan rumahku yang orang kaya tidak mau kalah heboh. Bersama anak istrinya malam ini mereka akan merayakan pergantian tahun di sebuah hotel berbintang. Maklumlah beliau seorang pengusaha. Yang mungkin akan dimanfaatkan untuk menambah relasinya.

Sementara asap pembakaran ikan mulai mengepul dengan pekatnya yang berpadu suara musik dangdut, hati ini serasa gelisah tidak tenang. Akupun segera pergi menyusuri jalanan Ibukota seorang diri bersama motor roda dua yang masih kredit. Mataku bagai kamera foto yang merekam tingkah polah anak manusia di jalanan malam tahun baru.

Sulit untuk menceritakan dengan lukisan kata-kata apa yang kulihat malam itu. Yang pastinya semua manusia larut dalam hura-hura atau hore-hore. Tua muda bagai mabok sesuatu. Orang sepertiku hanya mengelus dada melihat anak muda abg lain jenis berpacaran mesra. Mereka mungkin menyangka diri ini sebagai orang yang linglung karena tidak larut dalam suasana hura-hore. Aku hanya duduk di pinggir jalan sebuah taman yang dijadikan tempat hiburan ganti tahun.
Kusempatkan pula telingaku merekam percakapan para rakyat jelata, sambil melihat dari jauh acara di panggung hiburan. Bagi rakyat kelas bawah, pergantian tahun justru saat yang mendebarkan, karena sangat boleh jadi di tahun yang baru ini kebutuhan hidup akan semakin berat seiring naiknya harga barang kebutuhan (sembako).

Menjelang subuh akupun pulang ke rumah, subuh pertama di tahun baru. Tidak ada kesan dan makna yang kudapat kecuali capeknya mata merekam sejumlah kejadian yang tidak layak sejatinya dilakukan di saat pergantian tahun dimana usia bertambah namun jatah umur kian berkurang.

Seiring azan subuh akupun sholat berjama'ah di Masjid dekat rumah, hanya beberapa orang yang ikutan sholat. Yang lainnya mungkin sekali masih terlelap dalam tidur bersama rasa penat meniup terompet dan goyangannya.

Kamis, 30 Desember 2010

PSSI DAN FREEKICK NASIONALISMENYA


Saat tulisan ini dibuat, kejuaraan sepakbola memperebutkan Piala AFF Suzuki baru saja usai. Dan Indonesia(PSSI) menjadi runner upnya.

Selama kejuaraan ini berlangsung, fokus perhatian masyarakat Indonesia seakan tergiring dan tertuju kepada si kulit bundar yang dimainkan oleh Gonzales dkk. Peran mass media begitu jelas untuk mengarahkan perhatian kepada tim sepakbola Indonesia yang cukup mencengangkan dengan sejumlah kemenangan yang berhasil diraihnya dengan perolehan gol spektakuler selama kejuaraan AFF Cup.

Sepakbola adalah olah raga yang paling populer di tanah air kita. Namun belum pernah begitu menghebohkan seperti saat Gonzales dkk berlaga di AFF Cup ini. Lihatlah, PSSI bukan saja menjadi obrolan di warung kopi kelas bawah hingga di perkantoran elit, bahkan pedagang kaos di pasar-pasar juga turut menikamati, dengan laris manisnya kaos merah putih berlambang Garuda di dada.

Gonzales dan kawan-kawan yang menyuguhkan permainan indah walau belum berhasil menjadi juara, seakan embun penyejuk di tengah krisis prestasi olahraga khususnya sepakbola dan umumnya cabang olahraga lain yang cukup populer di Indonesia misalnya bulutangkis. Kecuali itu, PSSI laksana memberikan sebuah tendangan bebas (Free Kick) kepada elit bangsa dan seluruh rakyat Indonesia akan pentingnya memelihara rasa cinta tanah air/ Nasionalisme.

Indonesia sesungguhnya bangsa yang besar. Namun harkat martabat bangsa kita sering dinodai oleh ulah sementara oknum-oknum pejabat yang tidak jujur dan mengkhianati sumpah jabatannya dengan berKKN ria. Belum lagi dengan seringnya kita mendengar dianiya atau tewasnya para pahlawan devisa TKW/TKI di luar negeri. Tentu membuat sedih dan prihatin bagi kita yang masih memiliki jiwa kebangsaan yang tak akan tergadai dengan apapun.

Tentu kita akan merinding saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan pada setiap pembukaaan pertandingan sepakbola. Mestinya hal yang sama akan membuat kita benci terhadap praktek-praktek KKN dan para pelaku yang sejatinya mengkhianati rakyat dan negara.

Akhirnya, melalui tulisan sederhana ini, aku ingin mengucapkan Selamat kepada Gonzales dkk meski belum berhasil juara, untuk meneruskan perjuangannya mengibarkan sang dwi warna merah putih ke ujung tiang tertinggi. Semoga masa depan prestasi PSSI lebih baik lagi. Bravo PSSIku.

Selasa, 28 Desember 2010

Antara Istri Judes Atau Mertua Galak ?


Sore itu jam pulang kerja, namun di lobby depan kantor masih ada beberapa kawan yang asyik mengobrol sambil menunggu redanya hujan. Semula aku mengira mereka membicarakan sepakbola atau PSSI, ternyata yang menjadi topik sentral pembahasan obrolan mereka adalah soal rumah tangga.

Adalah kawanku bernama Narsis, ia sejak berumahtangga sepuluh tahun lalu masih tinggal seatap dengan mertuanya. Bukannya tidak mau atau tidak mampu ngontrak rumah, tapi mertuanya sangatlah baik hati. Maklum istrinya mas Narsis ini anak perempuan paling kecil dan satu-satunya. Sementara para kakak ipar telah tinggal berjauhan dari rumah orang tuanya. Bukan hanya fasilitas rumah yang dinikmati oleh mas Narsis, melainkan juga mobil sang mertua. Meski mobil tahun 90an tapi masih oke punya, dan hampir setiap hari ia bawa ke kantor, sekalian manasin mesin. Sang mertua jarang sekali memakainya maklum udah terlalu sepuh.

Mendengar kenikmatan berumah tangga yang dialami mas Narsis, tentu kami semua berdecak kagum dan bergumam dalam hati betapa baiknya mertua Mas Narsis.

Namun Mas Narsis mengakui secara jujur, bahwa hidupnya bukan tanpa tekanan. Sikap istrinya kebalikan dari sang mertua. Bila mertua baik dan penuh kasih sayang padanya, tidaklah demikian untuk sang istri. Mas Narsis sebagai lelaki normal ingin 'dimanja' dan mendapat sentuhan kasih sayang yang lebih aduhai dari istrinya, namun hal itu sangat jarang ia rasakan. Kecuali pada tiap tanggal muda saja.

Berbeda dengan mas Narsis, kawanku yang bernama mas Ego, justru mendapatkan istri yang sangat luar biasa perhatian kepada suami dengan segala kelembutannya. Tidak pernah terlontar kata-kata kasar atau yang menyakitkan hati suami. Sabar dan sangat sabar meski terkadang mendapat tekanan badai ekonomi. Namun mertua mas Ego, adalah mertua yang berwatak keras walau mungkin hatinya baik. Tapi bagi mas Ego suara kritikan dan sindiran sang mertua yang sering dialamatkan kepadanya saat berkunjung ke rumah mertua, sangat mengganggu kenyamanan tidur. Alhasil ia selalu enggan bila diajak sang istri untuk silaturrahim kerumah mertuanya. Karna hampir dipastikan ia akan mendapati wejangan yang memanaskan telinga.

Aku yang sedari tadi mendengar obrolan mereka, akhirnya angkat bicara setelah diminta untuk itu. Aku katakan bahwa hidup di dunia ini tetap saja ada plus minusnya. Tidak ada yang sempurna. Ada mertua baik tapi istrinya judes. Sebaliknya juga demikian. Namun ukuran kebahagiaan berumah tangga adalah saat istri kita mampu menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anak kita. Apalah artinya jika kita sebagai suami diservis istri secara memuaskan namun anak-anak kita tidak merasakan dekapan dan sentuhan kasih sayang dari ibunya yang juga isri kita.

Tak terasa obrolan sore hari selepas jam kerja begitu panjangnya. Hingga azan maghrib terdengar. Dan usai Sholat maghrib di musholla kantor kami pulang karena hujanpun telah reda.

Sabtu, 18 Desember 2010

Bertemu Sri Sultan Hamengkubuwono IX Di Lorong Waktu


Sebagai anak muda yang dilahirkan jauh setelah masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, ada rasa ingin tahu dalam hati ini, tentang siapa dan apa peran Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX, dalam sejarah bangsa.

Rasa penasaranku makin berkobar karena hampir tiap malam fokus berita di televisi maupun koran tertuju ke kota Yogyakarta, daerah yang katanya Istimewa itu.

Sebenarnya selama ini aku tidak terlalu suka dengan pelajaran sejarah yang hanya berkisah tentang generasi dulu ataupun peristiwa masa silam dalam lintasan sejarah peradaban manusia.


Pagi itu, pelajaran sejarah berada di jam pertama setelah lonceng masuk. sebagai siswa SMU selama ini aku lebih suka menekuni pelajaran akuntansi atau bahasa inggris dan metematika. Namun ada yang berbeda untuk pagi itu, ada pertanyaan yang tak kuat lagi aku sembunyikan yang hendak ku sampaikan kepada pak guru sejarah.

Maka setelah pak guru sejarah masuk dan bersiap menyampaikan pelajaran. Tiba-tiba jari telunjukku terangkat tinggi. Maka akupun menyampaikan pertanyaan, tentang siapa Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX sekaligus peran apa yang telah diambil oleh kesultanan Yogya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Seisi kelasku terdiam, namun Pak Guru sejarah menjawab pertanyaan dengan tenang dan panjang lebar.

Setelah bangsa kita memproklamasikan kemerdekaannya, hasrat Belanda untuk kembali menjajah ibu pertiwi begitu besar. Maka dengan membonceng tentara sekutu yang hendak melucuti bala tentara Jepang, Belanda bersembunyi di balik baju NICAnya.
Belanda lalu menggunakan berbagai macam cara agar keinginannya untuk menjajah negeri ini tercapai. Dari cara tipu muslihat diplomatik hingga cara kekerasan berupa agresi militer pertama dan kedua.

Dan dalam pandangan Belanda, seluruh wilayah Republik Indonesia, mereka anggap daerah yang sedang memberontak yang dengan itu pula, Belanda merasa bebas melakukan apa saja agar perlawanan rakyat berhenti. Kecuali untuk wilayah keraton Yogya. Bagi Belanda wilayah keraton Yogya dan juga Sultan Yogya tidak boleh diperlakukan sembarangan. Melainkan harus dihormati. Karena nampaknya Belanda menganggap keraton Yogya sesuatu yang berbeda dengan kaum Republik.

Maka bagi rakyat jelata, keraton Yogya adalah tempat aman untuk mengungsi dari gempuran serangan Belanda yang membabi-buta.
Di sinilah peran Sultan Hamengkubuwono IX yang sangat arif, beliau mengizinkan dan membuka lebar-lebar pintu halaman Keraton Yogya bagi tempat pengungsian. Dan beliau secara aktif turut pula berperan dalam adu strategi diplomasi dengan petinggi perwakilan kerajaan Belanda.

Bahkan secara diam diam Sri Sultan memprakarsai serangan umum, yang dipimpin oleh kolonel Soeharto. Serangan umum itu cukup berhasil bagi bergaining posisi diplomatik Indonesia di PBB. Bahwa eksistensi Indonesia masih ada, tidak seperti tuduhan dan propaganda politik Belanda yang mengatakan Indonesia telah selesai.
Dan Sri Sultanpun tidak segan-segan merogoh kocek pribadinya atau keuangan keraton bagi pembayaran gaji pegawai pemerintahan Republik Indonesia.

Kita prihatin atas pemberitaan yang seakan melupakan budi baik dan jasa Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX dan keraton Yogya khususnya serta rakyat Yogyakarta umumnya pada saat Indonesia memasuki fase yang menentukan di awal kemerdekaannya
dulu.
Apakah ini akibat adanya manuver politik tertentu ? Terhadap pertanyaanku ini pak guru sejarah hanya terdiam sambil tersenyum.