Rabu, 27 Oktober 2010

Mbah Maridjan...Rasa Tanggung Jawabmu Itu


Saat tulisan ini dibuat pusat perhatian mass media pemberitaan di tanah air sedang mengarah ke sosok kakek tua yang akrab dipanggil dengan Mbah Maridjan.

Keberadaan Mbah Maridjan tidak dapat dipisahkan dengan "tingkah-polah" gunung Merapi yang terletak di daerah propinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dan seperti banyak diberitakan Gunung Merapi meletus, dengan memakan banyak korban termasuk Mbah Maridjan ikut gugur.

Sesungguhnya budaya masyarakat Indonesia dan khususnya sebagian masyarakat jawa. Gunung, benda-benda pusaka termasuk makam orang yang dihormati, harus diperlakukan "istimewa". Dan tidak semua orang dapat "berinteraksi" dengan sesuatu yang harus diistimewakan tersebut.

Agaknya inilah yang menjadikan sosok Mbah Maridjan keberadaannya dianggap penting guna "menjinakkan" gunung Merapi apabila mulai "bergaya".
Bagi ummat Islam, segala yang terjadi di muka bumi ini harus diyakini memiliki pesan-pesan hikmah yang harus ditangkap oleh keimanan dalam dada kita. Termasuk peristiwa meletusnya gunung Merapi itu.

Boleh jadi peristiwa itu merupakan isyarat bahwa kita harus banyak berbenah dari alpa dan dosa kepada Allah Swt, yang harus kita yakini pula Gunung Merapi meletus adalah karena izin serta kehendakNYA.

Melalui tulisan sederhana ini aku hanya bermaksud untuk sama-sama mencermati sosok Mbah Maridjan yang sangat risau akan keselamatan masyarakat yang tinggal di lereng gunung Merapi tatkala Gunung Merapi itu mulai "bertingkah".

Sebagai seseorang yang dianggap "bisa berinteraksi" dengan gunung Merapi laksana seorang pawang, Mbah Maridjan sangat menjunjung tinggi amanah yang diembankan kepadanya yang konon sejak Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX. Disini saya mengajak pembaca budiman untuk secara arif melihat hubungan Mbah Maridjan dan gunung Merapi dalam prespektif budaya sebagian masyarakat Jawa.

Hingga titik darah penghabisan, sebuah kalimat yang pantas untuk melukiskan akan pengorbanan Mbah Maridjan terhadap keselamatan masyarakat di sekitar gunung Merapi. Hingga beliaupun rela mengorbankan jiwanya sebagai wujud rasa tanggung jawab yang diyakini telah diembankan kepadanya oleh Ngarso Dhalem Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX.

Kalau saja filosofi rela berkorban demi rakyat banyak, sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh Mbah Maridjan, juga dianut oleh banyak pemimpin negeri ini, tentu tidak seperti pemberitaan di mass media akhir-akhir ini. Di mana banyak pejabat atau mantan pejabat berurusan dengan para penegak hukum karena nafsu keserakahan ingin kaya dan kenyang sendiri di atas penderitaan rakyat banyak.

Akhirnya dalam jeritan duka dan pilu di dalam dada kita, melihat potret negeri tercinta ini, mari kita doakan moga arwah Mbah Maridjan dan para korban bencana alam di manapun, semoga diterima disi sang Khaliq Allah Swt...Amiiiin

Moga bermanfaat...

Selasa, 26 Oktober 2010

Mencari Guru Dan Sekolah Terbaik


Setelah pensiun aku bertekad untuk tidak menyerah dengan waktu. Aku tidak ingin menunggu kematian. Maka yang harus aku lakukan adalah mencari pekerjaan dan kuliah lagi. Maka serasa diri ini masih muda. Soal rambut beruban bisa kuatasi dengan menyemir. Soal kebugaran fisik dapat aku atasi dengan rajin olahraga jogging atau main golf.

Pendek kata, aktivitas keseharianku tidak berbeda seperti waktu belum pensiun. Pagi kerja sore hingga malam kuliah lagi. Bila ada waktu senggang aku gunakan untuk menengok cucu atau mencari dan membaca buku terbaru.

Apa yang ada di benak pikiranku adalah berfikir dan terus memikirkan tentang segala yang berhubungan dengan ilmu dunia, tidak ada ruang untuk memikirkan hidup sesudah mati. Telinga ini serasa alergi bila ada yang mengajak bicara tentang Islam apalagi tentang akherat, rasanya aku tutup rapat-rapat.

Istriku berbeda prinsip, dia adalah aktivis pengajian ibu-ibu. Sering sekali rumahku dijadikan tempat pengajian. Sering pula aku diajaknya untuk ikut mendengarkan santapan rohani dari seorang ustadz, namun aku lebih suka pergi main golf atau pergi ke toko buku mencari buku baru.

Bapak sibuk siang malam. Bapak jarang di rumah. Biarpun udah pensiun bapak masih giat bekerja dan kuliah lagi. Inilah kata-kata yang sering dijadikan alasan oleh istri manakala para tetangga menanyakan tentang diriku. Bahkan anak-anakku yang sudah rumah tangga semua dan hidup mapan, untuk dapat berjumpa denganku tidak mudah. Harus membuat janji dulu. Kalaupun ada masalah hanya melalui telpon untuk membicarakannya.

Namun harus aku akui, semakin belajar dan mengejar ilmu dunia rasanya selalu kurang dan kurang terus. Dan makin penasaran untuk mencari tempat kuliah dan guru yang terbaik sesuai disiplin ilmu yang aku pelajari. Pokoknya asal aku tamat program S1 bidang suatu bidang studi akan aku lanjutkan untuk kuliah lagi mengambil bidang studi lainnya. Terus dan terus begitu.

Hingga suatu pagi terbetik berita bahwa tetangga sebelah meninggal dunia. Sebenarnya aku paling alergi dan takut bila datang ke tempat orang kematian. Namun karena yang meninggal ini adalah tetangga dekat, maka terpaksa aku harus mendatanginya.

Dari mulai memndikan mayatnya hingga mengkafani serta menguburkannya tanpa sadar, mataku menyaksikan meski di hati ada rasa takut tapi mau. Rekaman peristiwa itu terus membayang di memory fikiranku. Hingga larut malam saat istriku sholat tahajjud. Aku tidak bisa tidur dalam gelisah tak menentu. Apalagi saat istriku membaca Alqur'an.

Saat subuh tiba aku yang biasanya jarang sholat, hari itu badan dan jiwaku serasa ringan untuk sholat subuh. Aku tersadarkan dalam tafakur seusai sholat, bahwa umurku telah tua. Betapapun aku berusaha menghindari kematian, ternyata kedatangannya makin dekat dan tambah mendekat saja.

Ternyata aku telah menemukan guru dan sekolah terbaik untuk menyadarkan jiwa gersang yang selalu tidak pernah merasa puas ini, yaitu kematian.
Moga bermanfaat....

Senin, 25 Oktober 2010

Bukan Mereka Tapi KIta


Bukan mereka tapi kita, adalah jawabanku saat seorang teman mengeluh, karena hanya kami berdua saja yang peduli terhadap suatu masalah.....
Berikut contoh kasusnya....

1. Pada Saat Ronda Sisikamling. Malam itu hujan cukup lebat di kawasan perumahan kami yang terletak di perumahan BTN Pondok Ungu Permai Bekasi. Namun malam itu aku harus keluar rumah meskipun suhu udara dingin dan matapun berat karena mengantuk. Jam 00.00 tengah malam. Sesampainya di Pos Ronda, hanya kami berdua yang datang memenuhi jadwal giliran jaga. Seharusnya bila regu kami datang semua, akan ada 7 anggota. Setelah ditunggu-tunggu tetap saja kami berdua. Yang lainnya kemana ? Kawanku mengeluh dan berkata," mereka yang tidak datang kok enak sekali".
Lalu kujawab,"Biarkan saja mereka, sesuatu kebaikan tidak usah menunggu mereka tapi kita."

2. Pada saat kerja bakti. Sudah menjadi kewajiban rutin setiap bulan sekali, warga perumahan kami mengadakan kegiatan kerja bakti membersihkan sampah di lingkungan perumahan. Ternyata hanya beberapa warga saja yang datang utuk kerja bakti. Pada saat seperti itu, seorang kawan bertanya," kenapa mereka yang lain tidak datang ?" Dan kujawab," Untuk kebaikan bukan mereka tapi kita".


3. Pada Saat Hiruk Pikuk Kepadatan Lalu lintas. Betapa banyak pengendara motor maupun mobil yang tidak sabar saat mengalami kemacetan dan kepadatan lalu lintas di Jakarta. Sehingga banyak yang melanggar peraturan lalu lintas. Pada saat seperti itu, kawanku mengeluh dan mengajakku unuk berbuat hal yang sama salahnya dengan mereka yang melanggar. Namun kutolak sambil kukatakan, untuk taat peraturan bukan mereka tapi kita.

4. Untuk Sebuah kepedulian sosial. Usai sholat ashar di Masjid. Seperti biasa aku tidak langsung pulang. Kusempatkan diri ini untuk mengobrol dengan sesama jama'ah masjid. Sore itu kami bertiga mengobrol membicarakan berbagai persoalan dan tukar fikiran. Tak lama kemudian, kawanku memberitahu bahwa ada seorang anggota jama'ah Masjid yang sakit dan tidak memiliki biaya untuk berobat serta belum ada satu orangpun yang membezuk di rumahnya. Maka aku putuskan untuk mengajak kawanku untuk menjenguk dan aku ambil inisiatif untuk memulai menggalang dana. Ternyata kawanku ada yang berkata, sebaiknya menunggu mereka para jama'ah yang lainnya. Perkataannya ini langsung aku jawab, untuk kebaikan bukan mereka tapi kitalah yang memulai.

5. Dalam mendidik Anak. Istriku berkata, banyak orang tua yang tidak memperhatikan pendidkan akhlaq seorang anak. Akibatnya bsnysk anak remsjs ysng kecanduan narkoba hingga Nudzubillah tewas over dosis. Mereka para orang tua itu bagaimana kok bisa lalai mendidik moralitas anak ? demikian pertanyaan istriku, dan langsung aku jawab, " bukan mereka tapi kita yang harus pandai dan cermat mendidik moralitas atau Akhlaq anak".

6. Ada kalanya bukan lagi mereka atau kita yang harus mengawali berbuat baik, tapi diri sendiri dulu. Seperti saat Sholat subuh tiba, belum ada yang azan, sebab muazinnya sedang pulang kampung. Maka diri ini yang harus azan.


Semogalah tulisan dan contoh sederhana ini menyadarkan kita, untuk pekerjaan yang tidak ada imbalan materinya amatlah sulit walaupun hal itu suatu kebajikan yang hakiki. Semoga bermanfaat.

Minggu, 24 Oktober 2010

Tetangga Baru Yang Fenomenal


Sudah lebih dari setahun, rumah di sebelah rumah kami kosong. Tapi hari itu akan segera di tempati oleh sebuah keluarga yang baru membelinya.

Hari ahad pagi menjelang zhuhur, ada sebuah mobil truk yang berhenti tepat di samping rumah kami.

Sebagai tetangga dan orang lama yang menetap di kawasan perumahan BTN di Bekasi, aku mencoba mendekat dan menghampiri mereka yang sibuk menurunkan berbagai barang rumah tangga. Ada tempat tidur, lemari, kompor dsb.

Rupanya kedatanganku disambut oleh tuan rumah. Umurnya masih muda sekitar tiga puluhan tahun. Ia memperkenalkan diri dengan nama Tarbawi. Sambil membantu menurunkan barang dari Truk, Mas Tarbawi menjelaskan bahwa rumah ini telah dibeli olehnya. Dan ia pun cerita baru memiliki satu orang anak menjelang dua. Anak pertamanya bernama Nisa.

Hari berganti hari dengan cepatnya. Ada fenomena yang menarik dari tampilan kehidupan tetangga sebelah. Mas Tarbawi itu meski masih muda namun sangat rajin pergi sholat di Masjid yang tidak jauh letaknya. Berbeda dengan diriku. Jangankan pergi sholat di Masjid, di rumahpun aku sering tidak sholat. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan memperbaiki motor atau menonton televisi ketimbang melangkahkan kaki menuju Masjid terdekat.

Kecuali itu, keluarga Mas Tarbawi ini aneh juga. Anaknya memanggil dirinya sebagai ayah dengan panggilan Abi dan ibunya dengan panggilan Ummi. Sesuatu yang menarik dan asing di telingaku. Bukan hanya itu, istrinya Mas Tarbawi jika keluar rumah membeli sesuatu di warung, selalu memakai tutup kepala dan kakinya selalu memakai kaos kaki. Sesuatu yang betul-betul membuat aku tertawa geli dalam hati. Hal ini sering aku diskusikan dengan istri.

Bahkan saat aku ke rumahnya untuk meminjam gergaji atau apapun, manakala Mas Tarbawi tidak sedang ada di rumah, istrinya agak lama baru keluar untuk membuka pintu. Rupanya ia mesti memakai baju dan penutup kepalanya terlebih dulu.

Di balik keanehan yang melekat pada keluarga Mas Tarbawi, namun sesungguhnya kami warga perumahan yang tinggal satu RT dengannya sangat bersimpati dan menaroh rasa hormat. Karena Mas Tarbawi pribadinya ramah mudah bergaul. Demikian pula istrinya.

Sudah lebih dari dua bulan ini, anak-anak warga perumahan kami, setiap habis Maghrib hingga Isya belajar membaca Al-qur'an dengan istri Mas Tarbawi yang biasa mereka panggil dengan panggilan ibu Ummi.

Sewaktu anak kedua Mas Tarbawi lahir, sore itu kami diundang ke rumahnya. Ada apa ini ? Rupanya mau membaca doa bersama sebagai ungkapan rasa syukur. Dari seorang ustadz yang memberi wejangan, aku baru tahu, acara ini disebut dengan Aqiqah. Sepulang dari rumah Mas Tarbawi, kami warga yang hadir diberi bungkusan yang berisi makanan nasi dan sayur Gule kambing dan sedikit Sate beberapa tusuk. Selain itu, ada buku kecil yang terselip di dalam bungkusan makanan itu. Oh rupanya buku tentang apa dan bagaimana Aqiqah itu. Lengkap dengan nama dan alamat perusahaan, tempat di mana kambingnya di beli lalu dipotong dan dimasak menjadi sate gule. Tertera di buku ini Barokah Aqiqah telponnya 02196374238. Buku ini lalu kusimpan dan akan kuberikan pada menantu yang akan melahirkan.

Seusai sholat zhuhur di musholla kantor, ada acara pengajian. Tidak seperti biasanya diriku tertarik untuk ikut. Ternyata penceramah membahas masalah keharusan menutup aurat bagi setiap muslimah dewasa. Aku jadi teringat istri Mas Tarbawi dan anaknya meskipun masih kecil tapi telah dibiasakan memakai penutup kepala jika keluar rumah. Aku baru tahu kemudian, penutup kepala itu bernama Jilbab.

Tahun terus berganti, satu persatu kaum ibu muslimah di kawasan perumahan kami, kini makin banyak saja yang memakai Jilbab. Termasuk istriku. Dan makin sering saja petugas pengantar hidangan Aqiqah dari Barokah Aqiqah, keluar masuk komplek kawasan perumahan ini. Pertanda makin banyak saja yang mengadakan acara Aqiqahan.

Semoga kisah singkat dari tetangga baru kami yang fenomenal, dapat menjadi motivasi agar kita dapat menjadi agen perubahan ke arah kebajikan.

Kamis, 21 Oktober 2010

Menemukan Prima Causa Di Telaga Sarangan


Perkenalkan namaku Telmi. Sejak kecil aku dibesarkan di lingkungan keluarga berada secara materi berkecukupan bahkan lebih.

Bila dirimu menyenangi hidup dalam ketaatan beragama, tidak demikian denganku. Bagi diriku agama bukan sesuatu urusan penting. Karena sifatnya abstrak bahkan berbau mistik dan takhayul belaka. Dalam benakku yang terpenting adalah sekolah setinggi-tingginya dan lalu mencari kerja atau meneruskan usaha orang tua untuk mendapatkan uang yang banyak. Asal tidak melanggar peraturan dan undang-undang negara kebahagiaan dengan uang banyak akan diperoleh.

Hal inilah yang ditanamkan dalam pendidkan keluargaku sejak kecil hingga aku memiliki istri dan anak.
Di KTP aku mengaku beragama Islam tetapi dalam pandanganku Islam diperlukan hanya pada saat Sunatan; kawinan dan kematian. Di luar itu uang dan uang yang berbicara.

Suatu pagi, lupa tanggalnya tapi yang kuingat medio april 2006. Langkah kaki ini yang akan menuju ke ruang kerja terhenti, untuk membaca pengumuman yang terpasang di papan informasi samping resepsionis kantor.

Rupanya pengumuman Family Tour. sebuah acara rutin kantor setiap sekal setahun. Lokasinya di sebuah telaga namanya Sarangan. Mulanya aku tidak begitu tertarik, namun atasan dan bawahanku mengajak-ngajak. Akhirnya akupun bersedia ikut.

Kepada panitia aku mencari info tentang apa dan bagaimana telaga sarangan . Memang aku pernah mendengar lokasi wisata itu namun tidak terlalu menarik hati ini untuk memperhatikan. Yang kusukai berlibur itu di Mall sambil belanja atau mengajak anak istri berenang di kolam renang.
Bersama istri dan ketiga anakku akhirnya ikut rombongan wisata ke telaga sarangan. Ada lima bus yang membawa para peserta. Telag sarangan terletak di kota magetan jawa timur. Sedang kami berkerja dan tinggal di kota Semarang. Waktu perjalanan kurang lebih 3 jam.

Di dalam bus aku duduk bersama istri di deretan bangku depan. Semakin mendekati lokasi wisata telaga sarangan, ada perasaan kagum dan haru betapa cantiknya panorama alam yang menghijau. Awan putih yang sedikit menyelimuti puncak gunung Lawu makin membuat hati ini terpana kagum.

Alangkah luar biasanya lukisan alam ini gumamku dalam hati saat melihat kemolekan nan permai telaga sarangan dari dekat. Sementara anak-anakku berlarian senang dan istriku asyik ngobrol dengan temannya sesama istri karyawan kantor, aku berdiri dan tertegun penuh perasaan yang mengharu biru. Betapa maha sempurnanya lukisan alam ini.

Pohon-pohon pinus yang lebat seakan berbaris rapih di lereng dan ngarai gunung Lawu seta angin gunungnya yang bertiup dingin makin membuat jiwa ini hanyut dalam rasa kekaguman.

Para peserta sibuk dengan suka rianya masing-masing begitu pula anak dan istriku. Namun aku banyak terdiam dengan perasaan hati tak menentu. Bahkan saat diajak istri makan dengan membuka perbekalan akupun tidak bergairah makan.

Di Saat perasaan hatiku berkecamuk tak menentu, tiba-tiba dikejutkan suara yang sayup-sayup sampai. Suara yang seakan dibawa terbang angin gunung itu benar-benar masuk lewat telingaku dan merasuk sdalam-dalamnya dalam relung jiwaku yang terdalam membuat aku menangis dalam diam. suara itu adalah suara azan zhuhur. Istriku bertanya kenapa Mas ? Kok mukamu pucat ? Nangis lagi ?

Akupun sedih sekali, ingin sholat tapi belum tahu caranya. Aku bertekad sesampainya nanti di rumah setelah pulang dari wisata ini, aku akan belajar sholat. Tapi kepada siapa, aku minta akan minta diajari sholat ? Biarlah malu tinggal malu.

Sesampainya di rumah atau dua hari sesudah acara wisata itu, aku memberanikan diri melangkahkan kaki menuju Masjid yang terletak di luar kompleks rumah kami yang bersistem cluster. Aku kenal imamnya walau aku juga sebenarnya malu, karena setiap kali dia datang kerumah, pembantu sering aku suruh untuk berkata kepadanya aku sedang istirahat tidak bisa diganggu. Alasan ini sengaja, agar aku tidak membayar sumbangan untuk Masjid.

Alhamdulillah sejak saat itu kami sekeluarga les private agama Islam dan tahun ini aku dan istri akan berangkat Haji. Semoga bermanfaat.