Selasa, 28 Desember 2010

Antara Istri Judes Atau Mertua Galak ?


Sore itu jam pulang kerja, namun di lobby depan kantor masih ada beberapa kawan yang asyik mengobrol sambil menunggu redanya hujan. Semula aku mengira mereka membicarakan sepakbola atau PSSI, ternyata yang menjadi topik sentral pembahasan obrolan mereka adalah soal rumah tangga.

Adalah kawanku bernama Narsis, ia sejak berumahtangga sepuluh tahun lalu masih tinggal seatap dengan mertuanya. Bukannya tidak mau atau tidak mampu ngontrak rumah, tapi mertuanya sangatlah baik hati. Maklum istrinya mas Narsis ini anak perempuan paling kecil dan satu-satunya. Sementara para kakak ipar telah tinggal berjauhan dari rumah orang tuanya. Bukan hanya fasilitas rumah yang dinikmati oleh mas Narsis, melainkan juga mobil sang mertua. Meski mobil tahun 90an tapi masih oke punya, dan hampir setiap hari ia bawa ke kantor, sekalian manasin mesin. Sang mertua jarang sekali memakainya maklum udah terlalu sepuh.

Mendengar kenikmatan berumah tangga yang dialami mas Narsis, tentu kami semua berdecak kagum dan bergumam dalam hati betapa baiknya mertua Mas Narsis.

Namun Mas Narsis mengakui secara jujur, bahwa hidupnya bukan tanpa tekanan. Sikap istrinya kebalikan dari sang mertua. Bila mertua baik dan penuh kasih sayang padanya, tidaklah demikian untuk sang istri. Mas Narsis sebagai lelaki normal ingin 'dimanja' dan mendapat sentuhan kasih sayang yang lebih aduhai dari istrinya, namun hal itu sangat jarang ia rasakan. Kecuali pada tiap tanggal muda saja.

Berbeda dengan mas Narsis, kawanku yang bernama mas Ego, justru mendapatkan istri yang sangat luar biasa perhatian kepada suami dengan segala kelembutannya. Tidak pernah terlontar kata-kata kasar atau yang menyakitkan hati suami. Sabar dan sangat sabar meski terkadang mendapat tekanan badai ekonomi. Namun mertua mas Ego, adalah mertua yang berwatak keras walau mungkin hatinya baik. Tapi bagi mas Ego suara kritikan dan sindiran sang mertua yang sering dialamatkan kepadanya saat berkunjung ke rumah mertua, sangat mengganggu kenyamanan tidur. Alhasil ia selalu enggan bila diajak sang istri untuk silaturrahim kerumah mertuanya. Karna hampir dipastikan ia akan mendapati wejangan yang memanaskan telinga.

Aku yang sedari tadi mendengar obrolan mereka, akhirnya angkat bicara setelah diminta untuk itu. Aku katakan bahwa hidup di dunia ini tetap saja ada plus minusnya. Tidak ada yang sempurna. Ada mertua baik tapi istrinya judes. Sebaliknya juga demikian. Namun ukuran kebahagiaan berumah tangga adalah saat istri kita mampu menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anak kita. Apalah artinya jika kita sebagai suami diservis istri secara memuaskan namun anak-anak kita tidak merasakan dekapan dan sentuhan kasih sayang dari ibunya yang juga isri kita.

Tak terasa obrolan sore hari selepas jam kerja begitu panjangnya. Hingga azan maghrib terdengar. Dan usai Sholat maghrib di musholla kantor kami pulang karena hujanpun telah reda.

Sabtu, 18 Desember 2010

Bertemu Sri Sultan Hamengkubuwono IX Di Lorong Waktu


Sebagai anak muda yang dilahirkan jauh setelah masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, ada rasa ingin tahu dalam hati ini, tentang siapa dan apa peran Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX, dalam sejarah bangsa.

Rasa penasaranku makin berkobar karena hampir tiap malam fokus berita di televisi maupun koran tertuju ke kota Yogyakarta, daerah yang katanya Istimewa itu.

Sebenarnya selama ini aku tidak terlalu suka dengan pelajaran sejarah yang hanya berkisah tentang generasi dulu ataupun peristiwa masa silam dalam lintasan sejarah peradaban manusia.


Pagi itu, pelajaran sejarah berada di jam pertama setelah lonceng masuk. sebagai siswa SMU selama ini aku lebih suka menekuni pelajaran akuntansi atau bahasa inggris dan metematika. Namun ada yang berbeda untuk pagi itu, ada pertanyaan yang tak kuat lagi aku sembunyikan yang hendak ku sampaikan kepada pak guru sejarah.

Maka setelah pak guru sejarah masuk dan bersiap menyampaikan pelajaran. Tiba-tiba jari telunjukku terangkat tinggi. Maka akupun menyampaikan pertanyaan, tentang siapa Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX sekaligus peran apa yang telah diambil oleh kesultanan Yogya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Seisi kelasku terdiam, namun Pak Guru sejarah menjawab pertanyaan dengan tenang dan panjang lebar.

Setelah bangsa kita memproklamasikan kemerdekaannya, hasrat Belanda untuk kembali menjajah ibu pertiwi begitu besar. Maka dengan membonceng tentara sekutu yang hendak melucuti bala tentara Jepang, Belanda bersembunyi di balik baju NICAnya.
Belanda lalu menggunakan berbagai macam cara agar keinginannya untuk menjajah negeri ini tercapai. Dari cara tipu muslihat diplomatik hingga cara kekerasan berupa agresi militer pertama dan kedua.

Dan dalam pandangan Belanda, seluruh wilayah Republik Indonesia, mereka anggap daerah yang sedang memberontak yang dengan itu pula, Belanda merasa bebas melakukan apa saja agar perlawanan rakyat berhenti. Kecuali untuk wilayah keraton Yogya. Bagi Belanda wilayah keraton Yogya dan juga Sultan Yogya tidak boleh diperlakukan sembarangan. Melainkan harus dihormati. Karena nampaknya Belanda menganggap keraton Yogya sesuatu yang berbeda dengan kaum Republik.

Maka bagi rakyat jelata, keraton Yogya adalah tempat aman untuk mengungsi dari gempuran serangan Belanda yang membabi-buta.
Di sinilah peran Sultan Hamengkubuwono IX yang sangat arif, beliau mengizinkan dan membuka lebar-lebar pintu halaman Keraton Yogya bagi tempat pengungsian. Dan beliau secara aktif turut pula berperan dalam adu strategi diplomasi dengan petinggi perwakilan kerajaan Belanda.

Bahkan secara diam diam Sri Sultan memprakarsai serangan umum, yang dipimpin oleh kolonel Soeharto. Serangan umum itu cukup berhasil bagi bergaining posisi diplomatik Indonesia di PBB. Bahwa eksistensi Indonesia masih ada, tidak seperti tuduhan dan propaganda politik Belanda yang mengatakan Indonesia telah selesai.
Dan Sri Sultanpun tidak segan-segan merogoh kocek pribadinya atau keuangan keraton bagi pembayaran gaji pegawai pemerintahan Republik Indonesia.

Kita prihatin atas pemberitaan yang seakan melupakan budi baik dan jasa Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX dan keraton Yogya khususnya serta rakyat Yogyakarta umumnya pada saat Indonesia memasuki fase yang menentukan di awal kemerdekaannya
dulu.
Apakah ini akibat adanya manuver politik tertentu ? Terhadap pertanyaanku ini pak guru sejarah hanya terdiam sambil tersenyum.

Sabtu, 20 November 2010

Oleh-oleh Pulang Haji


Sore itu pulang kerja aku tidak langsung pulang ke rumah. Motor RX King ini membawa diriku menuju rumah seorang kawan kerja sekaligus atasan yang baru pulang dari tanah suci.

Pak Haji dan Bu Haji menyambut kedatanganku dengan semringah, karena kami sejak pagi sudah janjian mau ketemu di rumahnya. Mereka tak lupa bertanya mengapa aku datang sendirian tidak bersama istri.

Sudah tentu yang aku harapkan adalah oleh-oleh dari tanah suci, apakah itu, sajadah, air zam-zam, dan korma. Pak Haji dan Bu Haji nampaknya sudah menyiapkan hal itu sejak saya belum datang ke rumahnya. Terbukti nanti saat aku mau pulang ada bungkusan besar yang diberikan untukku.

Dalam bincang santai di ruang tamu rumah pak Haji malam itu, aku perhatikan aura wajahnya yang teduh dan nampak bersih. Beliau bercerita tentang pengalaman selama di tanah suci. Semakin ia bersemangat dalam bercerita semakin jantung dan nafasku berdegub dan terengah-engah. Betapa tidak ? Siapa yang tidak ingin berangkat Haji ? Siapa yang tidak ingin ziarah ke makam Rasul saw, panutan dan teladan kita ? Bahkan saat pak Haji bertutur sambil menangis, air mataku pun turut meleleh. Beliau bertutur tentang rasa harunya saat berada di depan makam Rasul Muhammad Saw.

Kalau saja jama'ah haji Indonesia berhasil mempertahankan Taqwanya sebagaimana saat di tanah suci, tentu tidak ada lagi KKN di negeri ini. Tidak ada lagi porno wicara, tidak ada lagi pornography, tidak ada lagi tawuran, dan sedikit sekali prilaku dosa lainnya.

Demikian ungkapan hati Pak Haji dan Bu Haji, semogalah mereka berdua menjadi Haji yang mabrur. Oleh-oleh Haji yang paling berharga adalah aura Taqwa yang coba aku ambil dari kisah Pak Haji selama di tanah suci. Bagi diri ini yang belum pernah ke Mekkah dan Madinah semoga tertulari aura Taqwa itu.

Dan malam makin larut,akupun mohon diri dari rumah Pak Haji tak lupa aku berdoa bersama dengannya untuk keberkahan usaha kami.

Kamis, 18 November 2010

Binal Di Jalanan Nyawapun Melayang....


Namanya Mas Songong. Siapa yang tidak mengenalnya seorang pembalap tingkat komplek perumahan. Harus diakui ia memang trampil dalam mengendarai motor. Namun sayang nalurinya sebagai pembalap tidak tersalurkan. Sehingga karirnya sebagai pembalap terhenti hanya pada tingkat komplek perumahan.

Namun bagi Mas Songong, sudah cukup senang memeperoleh pujian cewek-cewek komplek yang bertepuk tangan setiap ia beraktraksi dengan mengangkat roda depan motornya. Hati Mas Songong makin membumbung tinggi manakala tepuk tangan penonton sangat meriah. Gaya atraksinya semakin atraktif.

Tentu kita akan turut bangga jika melihat generasi muda seperti Mas Songong memiliki ketrampilan tertentu seperti jago balap motor selama hal itu disalurkan pada tempatnya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Mas Songong adalah sosok preman tanggung produk keluarga yang jauh dari nilai ajaran agama.

Bersama konco gengnya, Mas Songong yang siswa sebuah SMU itu, hampir tiap malam selalu membuat gaduh dengan genjrang-genjreng gitarnya. Begitu pula suara knalpot motor yang brisik makin gaduh saja. Rt dan Rwe hanya sabar dan sabar tanpa pernah menegur karena Babenya Mas Songong adalah orang yang berlatar belakang mengerti soal keamanan.

Pendek kata bagi Mas Songong antara kebut-kebutan motor, mabok minuman keras, judi dan gitar adalah rangkaian rukun prinsip hidupnya. Warga hanya bisa berdoa kapankah semua ini kan berakhir. Mungkinkah Allah Swt memberi hidayah kepada Mas Songong ?

Malam menjelang aku tidur, tiba-tiba ada pengumuman di corong Masjid samping rumah. Ada pengumuman warga yang meninggal dunia. Ternyata Mas Songong telah berpulang. Setelah kecelakaan menabrak truk yang berhenti. Ia meninggal saat sedang mabok sambil ngebut. Naudzubillah.

Sejak ia meninggal tidak ada lagi bunyi knalpot brisik dan suara gitar bising ataupun suara gelak tawa beraroma alkohol yang biasa kami dengar di belakang pos Rwe. Jangan kau tanya betapa bersyukurnya warga komplek perumahan kami.

Semoga bermanfaat.

Jumat, 12 November 2010

Teladan Langka Dalam Kabut Hedonis


Sore itu aku duduk di teras rumah sambil menyeruput teh manis berikut pisang gorengnya, hasil karya istri tercinta. Maksudku mau ngobrol berdua istri. Tapi tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah mobil sedan bagus yang berhenti tepat di depan pintu pagar. Ternyata sahabat lama teman kuliah dulu, ia bernama Mas Sajak e.

Luar biasa kesan dalam hatiku, masih muda namun sudah sekaya ini. Dua tahun lalu ia ke ke rumah naik sepeda motor tapi kini ia telah menjadi seorang usahawan sukses.

Penampilan Mas Sajak E luar biasa jauh beda dengan dua tahun lalu. Setelah jabat tangan penuh akrab kami pun mengobrol santai di teras rumah. Tak lupa istriku menghidangkan teh manis.

Mas Sajak E dalam obrolannya berkisah tentang kesuksesan usaha namun juga berkisah tentang kehancuran rumah tangganya. Kasihan betul kawan ini, gumamku dalam hati.

Usai ia berkisah tentang perjalan hidupnya, akupun mengajak Mas Sajak e pergi ke sebuah rumah besar, letaknya tidak jauh dari rumahku. Kami hanya jalan kaki santai sepuluh menit saja. Mulanya temanku ini tidak tahu untuk apa ia ku ajak ke rumah besar ini.

Di samping rumah besar ini ada Musholla bagus yang menyatu dengan bangunan rumah. Kami berdua duduk lesehan sambil memandang ke arah rumah besar.

Akupun mulai bercerita tentang Pak Haji Barokah. Ia dulu orang biasa. Bahkan dulu tergolong orang tidak mampu. Berbeda dengan kita yang mengeyam sekolah hingga perguruan tinggi. Demikian aku memulai memberi wejangan kepada Mas Sajak E. Namun berkat kegigihan usaha, bersama istrinya yang setia. Kini Pak Haji Barokah termasuk orang kaya yang terpandang dan disegani.

Dengan kekayaan yang ia miliki, tidak membuatnya lupa daratan hingga misalnya menambah nyonya. Walaupun ia sanggup untuk itu. Ia tidak lantas pula memperkaya diri sendiri dengan melupakan kondisi masyarakat sekeliling.

Yang ia lakukan adalah dengan membeli rumah besar ini, lalu ia mendirikan lembaga pendidikan dan ketrampilan. Semua peserta yang ikut dalam lembaga pendidikan ini tidak dikenai biaya. Dana operasional dan gaji tenaga pengajar menjadi tanggungan perusahaan Pak Haji Barokah. Bagi Pak Haji dan keluarganya, kebahagiaan tidak diukur dari harta melimpah yang lalu mencari kepuasan dengan harta itu. Tapi sudah menjadi prinsip hidupnya, kebahagiaan adalah ketika ia mampu berbagi kepada sesama.

Bukan hanya soal pendidikan yang menjadi fokus perhatiannya. Tapi juga soal ekonomi rakyat. Maka di sebelah depan rumah besar ini ada koperasi sekaligus sekolah Bisnisnya.

Mas Sajak E, hanya terdiam mendengar penjelasanku. Apa yang ia lakukan selama ini bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Pak Haji Barokah. Bagi Mas Sajak E, uang dan wanita juga harta adalah suatu dogma hidupnya yang sulit untuk ia kalahkan. Maka yang terjadi, meski ia kini kaya namun kebahagiaan tidak kunjung datang.

Menjelang Maghrib Mas Sajak E pamit pulang, katanya mau buru-buru ketemu kawannya. Kamipun lantas bersalaman.