Tampilkan postingan dengan label taqwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label taqwa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 November 2010

Oleh-oleh Pulang Haji


Sore itu pulang kerja aku tidak langsung pulang ke rumah. Motor RX King ini membawa diriku menuju rumah seorang kawan kerja sekaligus atasan yang baru pulang dari tanah suci.

Pak Haji dan Bu Haji menyambut kedatanganku dengan semringah, karena kami sejak pagi sudah janjian mau ketemu di rumahnya. Mereka tak lupa bertanya mengapa aku datang sendirian tidak bersama istri.

Sudah tentu yang aku harapkan adalah oleh-oleh dari tanah suci, apakah itu, sajadah, air zam-zam, dan korma. Pak Haji dan Bu Haji nampaknya sudah menyiapkan hal itu sejak saya belum datang ke rumahnya. Terbukti nanti saat aku mau pulang ada bungkusan besar yang diberikan untukku.

Dalam bincang santai di ruang tamu rumah pak Haji malam itu, aku perhatikan aura wajahnya yang teduh dan nampak bersih. Beliau bercerita tentang pengalaman selama di tanah suci. Semakin ia bersemangat dalam bercerita semakin jantung dan nafasku berdegub dan terengah-engah. Betapa tidak ? Siapa yang tidak ingin berangkat Haji ? Siapa yang tidak ingin ziarah ke makam Rasul saw, panutan dan teladan kita ? Bahkan saat pak Haji bertutur sambil menangis, air mataku pun turut meleleh. Beliau bertutur tentang rasa harunya saat berada di depan makam Rasul Muhammad Saw.

Kalau saja jama'ah haji Indonesia berhasil mempertahankan Taqwanya sebagaimana saat di tanah suci, tentu tidak ada lagi KKN di negeri ini. Tidak ada lagi porno wicara, tidak ada lagi pornography, tidak ada lagi tawuran, dan sedikit sekali prilaku dosa lainnya.

Demikian ungkapan hati Pak Haji dan Bu Haji, semogalah mereka berdua menjadi Haji yang mabrur. Oleh-oleh Haji yang paling berharga adalah aura Taqwa yang coba aku ambil dari kisah Pak Haji selama di tanah suci. Bagi diri ini yang belum pernah ke Mekkah dan Madinah semoga tertulari aura Taqwa itu.

Dan malam makin larut,akupun mohon diri dari rumah Pak Haji tak lupa aku berdoa bersama dengannya untuk keberkahan usaha kami.

Jumat, 05 November 2010

Baju Kebesaran Semu


Perkenalkan namaku Senior. Sejak kecil oleh orang tua, aku ditanamkan untuk memandang manusia dalam kaca mata perbedaan status sosial yang di milikinya.
Ketika memandang seorang abang becak, berbeda dengan memandang seorang karyawan,memandang seorang tamatan SD berbeda dengan memandang seorang sarjana, semua diukur dari strata sosialnya.

Begitu lepas SMA akupun masuk di sebuah perguruan tinggi yang juga menanamkan hal yang hampir sama. Jika dalam bermasyarakat seseorang aku melihatnya dari latar belakang status sosialnya, maka di perguruan tinggi aku memandang seorang kawan harus pula di lihat dari sisi senior atau yunior.

Begitu selesai kuliah dan mulai berkerja lalu berumah tangga, nilai-nilai ajaran dari orang tua dan dari perguruan tinggi tempat aku kuliah, sangat membekas dan tertanam.

Tidak jauh dari kawasan rumah kami yang bersistem cluster, ada seseorang yang aku memandangnya dengan sebelah mata. Ia bernama pak Juragan. Setiap aku berangkat ke kantor atau pulang kerja, dari dalam mobilku yang berkaca riben, terlihat pak Juragan penampilannya sangat udik. Selalu memakai peci dan sarung.

Pak Juragan tinggal di perumahan penduduk kelas ekonomi, yang berdekatan dengan perumahan cluster tempat kami tinggal yang berklas.
Dalam hati ini selalu menghina, apa dan bagaimana kerjanya pak Juragan. Maka lewat pembantu aku dapat info, rupanya pak Juragan itu kerjanya sebagai tukang Bakso.
Kata pembantuku baksonya enak dan laris. Tapi bagiku, sangatlah hina memakan bakso bikinan seseorang yang tinggal di kawasan kumuh.

Meski seorang muslim, untuk Sholat di Masjid yang terletak tidak jauh dari rumah pak Juragan sangatlah enggan bagiku. Karena nantinya aku akan duduk bersebelahan dengan tukang becak, tukang roti dan berbagai macam manusia kelas rendahan lainnya. Kalaupun mau ke Mesjid, aku Sholat di Masjid yang agak berklas meski harus naik mobil karena letaknya jauh.

Untuk belajar mengaji, anak-anak aku larang bareng anak-anak di Masjid kampung kumuh itu. Prinsip cara memandang seseorang yang kumiliki, juga dimiliki istriku. Apalagi istriku keturunan darah biru.

Sama dengan di rumah, di kantor aku juga demikian berhati-hati dalam bergaul. Seseorang aku bedakan berdasarkan golongan dan jabatannya. Untuk golongan yang lebih rendah, aku memakai wajah formil dalam menghadapinya. Sedang untuk menghadapi golongan yang lebih tinggi, aku sangat berhati-hati dengan wajah segan. Dan untuk yang golongannya sama denganku, aku sedikit akrab saja.

Suatu hari, oleh teman kantor aku diajak untuk sama-sama berangkat haji. Mulanya aku takut. takut uang habislah, takut mati di sana juga takut istri. Tapi oleh kawanku, aku diyakinkan. Bahwa untuk orang sepertiku, pantesnya naik haji dengan ONH PLUS saja. Lebih enak katanya.

Pulang kerja, akupun segera memberitahukan istri tentang ONH PLUS. Mulanya istriku negatif tanggapannya. Setelah ia bertanya kepada Ibu Sugeh teman arisannya, ia berubah fikiran dan setuju untuk bersama berangkat haji.

Singkat cerita, saat pelaksanaan ibadah haji di tanah suci, tanpa terduga, aku bertemu pak Juragan. Ia menyapaku. Dengan rasa ragu campur malu, akhirnya uluran jabat tangannya aku trima. Dan ia memelukku. Dengan baju ihram serba putih yang masih menempel di badan, air mataku berlinang. Betapa selama ini aku telah salah. Paradigma yang kumiliki keliru dalam menilai seseorang. Karena di sisi Allah swt, hakekatnya kita manusia sama saja. Apapun latar belakang status sosialnya. Hanya Taqwa dalam dada yang membedakan derajat manusia.

Jumat, 08 Oktober 2010

Biarkan Daku Ikut Penyair Gila


Peluh keringat masih mengucur deras di sekujur tubuhku, tak terasa malam akan menjelang. Entah sampai kapan diri ini menjalani nasib sebagai budak yang selalu dipaksa kerja bagai kuda.

Majikanku orangnya kaya raya dan berdarah bangsawan. Selain aku masih puluhan budak lain yang ia miliki. Tanpa bermaksud memuji diri sendiri, nampaknya aku yang menjadi tangan kanannya. Tidak ada yang istimewa dalam diri ini, selain postur tinggi besar dan tenaga yang lumayan kuat, mungkin kemampuan otakku yang cepat memahami apa yang majikan perintahkan. Inilah yang nampaknya menjadi pertimbangan majikan selalu mempercayaiku.

Bosan dan bosan inilah yang aku rasakan. Rasanya ingin lari saja, tapi akupun takut resikonya. Sebab bila tertangkap pastilah aku disiksa. Tapi bila jalan hidup ini terus aku jalani, rasanya tak kuat lagi. Aku merasa tercipta sebagai manusia dan bukan binatang tapi manjikanku sering berbuat sewenang-wenang.

Malam ini harus cepat tidur. Karena lewat tengah malam nanti harus ke rumah seorang sahabatku. Namanya Bilal, sama seperti diri ini, ia dulu juga seorang budak. Dan belum lama ia dimerdekakan. Aku ingin tahu lebih lanjut tentang suara dari langit. Yang konon sering didengar dan diterima oleh seseorang yang mengaku dirinya Nabi. Untuk itulah aku ingin tahu siapa dan apa yang diajarkannya. Sedang Bilal katanya sudah menjadi pengikutnya. Maka aku jadi sangat ingin tahu, dan kalau ajarannya bagus tentu aku mau juga ikut.

Tapi akhir-akhir ini banyak orang di kota Mekkah yang diam-diam membicarakan suara dari langit itu. Pernah majikanku berkata kepada temannya sesama orang kaya dan bangsawan Mekkah, agar tidak mempercayai penyair gila itu.
Tekadku sudah bulat, aku ingin tahu dari Bilal, siapa dan apa yang diajarkannya. Mumpung majikan sudah tertidur lelap, dan teman-teman budak juga sudah tidur, dengan mengendap-ngendap aku pergi ke rumah Bilal. Dan Sebelum ayam jago berkokok aku sudah harus ada di rumah ini kembali.
Ternyata orang itu bernama Muhammad. Aku baru tahu dari Bilal. selama ini yang sering aku dengar orang mengolok-oloknya dengan sebutan penyair gila.
Masih jelas apa yang diceritakan Bilal kepadaku. Bahwa semua manusia derajatnya sama. Tidak ada bangsawan tidak ada budak, tidak ada bedanya kaya dan miskin. yang mebedakannya hanyalah Taqwanya saja. Dan pencipta alam semesta ini adalah Allah yang Maha Esa. Sementara arca-arca berhala itu bukan apa-apa dan harus dijauhi.
Oleh Bilal aku diajaknya ikut rombongan Muhammad yang hendak pindah ke kota Madinah. Hanya satu jalan bila aku memang jadi mau ikut mereka. Aku harus kabur dari majikanku. Maka sebelum pergi, aku tinggalkan pesan yang tertulis di atas kulit. Pesan kepada majikanku singkat, biarkan aku ikut penyair gila.