Tampilkan postingan dengan label letkol soeharto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label letkol soeharto. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Februari 2011

Mengapa Mereka Harus Dilengserkan ?


Ingatan kita tentu belum lupa akan para pemimpin besar di berbagai negara yang harus mengakhiri masa jabatannya secara 'dipaksa' turun tahta. Lihatlah dalam catatan sejarah ada Ir Soekarno, Jendral Soeharto, Sah Iran, Saddam Hussein,Ferdinand Marcos dsb. Dan saat tulisan ini dibuat pusat perhatian dunia sedang tertuju ke Mesir, dimana rakyatnya sedang memaksa presiden Husni Mubarak agar segera lengser.

Dalam ajaran sholat berjama'ah sesungguhnya Islam telah mengajarkan suatu adab ataupun etika bermasyarakat atau bernegara. Sholat berjamaah merupakan miniatur suatu masyarakat ataupun negara. Di dalam sholat berjamaah ada imam atau pemimpin dan para makmumnya laksana rakyat yang dipimpin.

Rasa kekeluargaan mestinya bisa tercipta di sebuah Masjid yang merupakan wadah pembinaan masyarakat terkecil. Namun tidak sedikit ummat Islam diperkotaan sulit mewujudkan hal ini. Karena telah terkotori pemikiran individualis materialis.

Masjid yang semestinya tempat 'sharing' atau komunikasi dua arah ternyata hanya tempat ibadah vertikal rutin belaka tanpa menyentuh aspek ibadah sosial horisontal. Jika saja para pemimipin negara di dunia Islam bisa mengambil hikmah dari hal ini, tidak akan terjadi rakyat berdemonstrasi di jalanan. Karena telah terjadi komunikasi yang sehat secara mawaddah wa rahmah sebagai hasil dari hikmah kehidupan berjamaah yang sehat di Masjid.

Rasa kepeduliaan sosial yang tercipta di Masjid, yang jika dimiliki oleh para pemimpin dunia, akan menyebabkan mereka terhindar dari nafsu memperkaya diri dan keluarga. Hidup bermewah-mewah sementara rakyatnya selalu disuruh kencangkan ikat pinggang. Dan pemimpin bergaya 'elitis' menutup mata dan diri dari penderitaan rakyat mereka.

Dalam sholat berjamaah rakyat juga diajarkan untuk beretika bila mengkritik pemimpinnya. Bila imam lupa atau keliru makmum mengingatkan sambil memuji Allah Swt yang Maha Suci. Dan imampun mesti ikhlas legowo menerima kritikan ini. Karena menyadari dirinya hanya manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan dosa.

Akhirnya dalam sholat berjamaah imam juga diajarkan untuk tahu diri kapan harus mundur secara sportif ksatria nan jujur. Yaitu bila telah 'batal wudhu' atau kentut. Faktor gengsi mundur harus dihilangkan sama sekali. Maksudnya bila dirinya menyadari telah berbuat kekeliruan yang fatal, maka jalan terbaik adalah mundur teratur.

Jika para pemimpin muslim dapat mengambil hikmah dari ajaran sholat berjamah, tidak akan kita jumpai demo rakyat di jalanan yang menuntut mereka lengser secara tidak bermartabat. Karena mereka selalu sadar bahwa menjadi pemimpin merupakan amanah belaka.

Sabtu, 18 Desember 2010

Bertemu Sri Sultan Hamengkubuwono IX Di Lorong Waktu


Sebagai anak muda yang dilahirkan jauh setelah masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, ada rasa ingin tahu dalam hati ini, tentang siapa dan apa peran Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX, dalam sejarah bangsa.

Rasa penasaranku makin berkobar karena hampir tiap malam fokus berita di televisi maupun koran tertuju ke kota Yogyakarta, daerah yang katanya Istimewa itu.

Sebenarnya selama ini aku tidak terlalu suka dengan pelajaran sejarah yang hanya berkisah tentang generasi dulu ataupun peristiwa masa silam dalam lintasan sejarah peradaban manusia.


Pagi itu, pelajaran sejarah berada di jam pertama setelah lonceng masuk. sebagai siswa SMU selama ini aku lebih suka menekuni pelajaran akuntansi atau bahasa inggris dan metematika. Namun ada yang berbeda untuk pagi itu, ada pertanyaan yang tak kuat lagi aku sembunyikan yang hendak ku sampaikan kepada pak guru sejarah.

Maka setelah pak guru sejarah masuk dan bersiap menyampaikan pelajaran. Tiba-tiba jari telunjukku terangkat tinggi. Maka akupun menyampaikan pertanyaan, tentang siapa Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX sekaligus peran apa yang telah diambil oleh kesultanan Yogya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Seisi kelasku terdiam, namun Pak Guru sejarah menjawab pertanyaan dengan tenang dan panjang lebar.

Setelah bangsa kita memproklamasikan kemerdekaannya, hasrat Belanda untuk kembali menjajah ibu pertiwi begitu besar. Maka dengan membonceng tentara sekutu yang hendak melucuti bala tentara Jepang, Belanda bersembunyi di balik baju NICAnya.
Belanda lalu menggunakan berbagai macam cara agar keinginannya untuk menjajah negeri ini tercapai. Dari cara tipu muslihat diplomatik hingga cara kekerasan berupa agresi militer pertama dan kedua.

Dan dalam pandangan Belanda, seluruh wilayah Republik Indonesia, mereka anggap daerah yang sedang memberontak yang dengan itu pula, Belanda merasa bebas melakukan apa saja agar perlawanan rakyat berhenti. Kecuali untuk wilayah keraton Yogya. Bagi Belanda wilayah keraton Yogya dan juga Sultan Yogya tidak boleh diperlakukan sembarangan. Melainkan harus dihormati. Karena nampaknya Belanda menganggap keraton Yogya sesuatu yang berbeda dengan kaum Republik.

Maka bagi rakyat jelata, keraton Yogya adalah tempat aman untuk mengungsi dari gempuran serangan Belanda yang membabi-buta.
Di sinilah peran Sultan Hamengkubuwono IX yang sangat arif, beliau mengizinkan dan membuka lebar-lebar pintu halaman Keraton Yogya bagi tempat pengungsian. Dan beliau secara aktif turut pula berperan dalam adu strategi diplomasi dengan petinggi perwakilan kerajaan Belanda.

Bahkan secara diam diam Sri Sultan memprakarsai serangan umum, yang dipimpin oleh kolonel Soeharto. Serangan umum itu cukup berhasil bagi bergaining posisi diplomatik Indonesia di PBB. Bahwa eksistensi Indonesia masih ada, tidak seperti tuduhan dan propaganda politik Belanda yang mengatakan Indonesia telah selesai.
Dan Sri Sultanpun tidak segan-segan merogoh kocek pribadinya atau keuangan keraton bagi pembayaran gaji pegawai pemerintahan Republik Indonesia.

Kita prihatin atas pemberitaan yang seakan melupakan budi baik dan jasa Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX dan keraton Yogya khususnya serta rakyat Yogyakarta umumnya pada saat Indonesia memasuki fase yang menentukan di awal kemerdekaannya
dulu.
Apakah ini akibat adanya manuver politik tertentu ? Terhadap pertanyaanku ini pak guru sejarah hanya terdiam sambil tersenyum.