Jumat, 05 November 2010

Baju Kebesaran Semu


Perkenalkan namaku Senior. Sejak kecil oleh orang tua, aku ditanamkan untuk memandang manusia dalam kaca mata perbedaan status sosial yang di milikinya.
Ketika memandang seorang abang becak, berbeda dengan memandang seorang karyawan,memandang seorang tamatan SD berbeda dengan memandang seorang sarjana, semua diukur dari strata sosialnya.

Begitu lepas SMA akupun masuk di sebuah perguruan tinggi yang juga menanamkan hal yang hampir sama. Jika dalam bermasyarakat seseorang aku melihatnya dari latar belakang status sosialnya, maka di perguruan tinggi aku memandang seorang kawan harus pula di lihat dari sisi senior atau yunior.

Begitu selesai kuliah dan mulai berkerja lalu berumah tangga, nilai-nilai ajaran dari orang tua dan dari perguruan tinggi tempat aku kuliah, sangat membekas dan tertanam.

Tidak jauh dari kawasan rumah kami yang bersistem cluster, ada seseorang yang aku memandangnya dengan sebelah mata. Ia bernama pak Juragan. Setiap aku berangkat ke kantor atau pulang kerja, dari dalam mobilku yang berkaca riben, terlihat pak Juragan penampilannya sangat udik. Selalu memakai peci dan sarung.

Pak Juragan tinggal di perumahan penduduk kelas ekonomi, yang berdekatan dengan perumahan cluster tempat kami tinggal yang berklas.
Dalam hati ini selalu menghina, apa dan bagaimana kerjanya pak Juragan. Maka lewat pembantu aku dapat info, rupanya pak Juragan itu kerjanya sebagai tukang Bakso.
Kata pembantuku baksonya enak dan laris. Tapi bagiku, sangatlah hina memakan bakso bikinan seseorang yang tinggal di kawasan kumuh.

Meski seorang muslim, untuk Sholat di Masjid yang terletak tidak jauh dari rumah pak Juragan sangatlah enggan bagiku. Karena nantinya aku akan duduk bersebelahan dengan tukang becak, tukang roti dan berbagai macam manusia kelas rendahan lainnya. Kalaupun mau ke Mesjid, aku Sholat di Masjid yang agak berklas meski harus naik mobil karena letaknya jauh.

Untuk belajar mengaji, anak-anak aku larang bareng anak-anak di Masjid kampung kumuh itu. Prinsip cara memandang seseorang yang kumiliki, juga dimiliki istriku. Apalagi istriku keturunan darah biru.

Sama dengan di rumah, di kantor aku juga demikian berhati-hati dalam bergaul. Seseorang aku bedakan berdasarkan golongan dan jabatannya. Untuk golongan yang lebih rendah, aku memakai wajah formil dalam menghadapinya. Sedang untuk menghadapi golongan yang lebih tinggi, aku sangat berhati-hati dengan wajah segan. Dan untuk yang golongannya sama denganku, aku sedikit akrab saja.

Suatu hari, oleh teman kantor aku diajak untuk sama-sama berangkat haji. Mulanya aku takut. takut uang habislah, takut mati di sana juga takut istri. Tapi oleh kawanku, aku diyakinkan. Bahwa untuk orang sepertiku, pantesnya naik haji dengan ONH PLUS saja. Lebih enak katanya.

Pulang kerja, akupun segera memberitahukan istri tentang ONH PLUS. Mulanya istriku negatif tanggapannya. Setelah ia bertanya kepada Ibu Sugeh teman arisannya, ia berubah fikiran dan setuju untuk bersama berangkat haji.

Singkat cerita, saat pelaksanaan ibadah haji di tanah suci, tanpa terduga, aku bertemu pak Juragan. Ia menyapaku. Dengan rasa ragu campur malu, akhirnya uluran jabat tangannya aku trima. Dan ia memelukku. Dengan baju ihram serba putih yang masih menempel di badan, air mataku berlinang. Betapa selama ini aku telah salah. Paradigma yang kumiliki keliru dalam menilai seseorang. Karena di sisi Allah swt, hakekatnya kita manusia sama saja. Apapun latar belakang status sosialnya. Hanya Taqwa dalam dada yang membedakan derajat manusia.

Rabu, 03 November 2010

Welcome To Indonesia President Obama


Ada rasa bangga dan bahagia sebagai salah seorang rakyat Indonesia, ketika mendengar berita akan berkunjungnya Mr Obama ke negeri kita.
Penulis mencoba menangkap pesan yang terdapat dalam kunjungan tersebut. Tentu sangat subyektif, mengingat penulis hanyalah bagian dari berjuta rakyat Indonesia yang hanya menerima informasi sangat terbatas. Hanya melalui berita di televisi misalnya.

Tapi semogalah apa yang hendak kami tulis ini, merupakan suatu bentuk suara hati yang jujur dari rakyat jelata di Republik Indonesia.

Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau dan bermacam-macam suku bangsa, dengan berbagai tradisi dan kepercayaan masing-masing yang di anutnya. Di negeri yang unik ini tidak pernah ada konflik keyakinan lintas generasi. Kalaupun ada konflik antar suku misalnya, dapat segera diatasi. Karena sejatinya hati orang Indonesia sangat terbuka untuk bersahabat. Hal ini terkadang dirusak oleh sebuah rekayasa politik untuk kepentingan tertentu.

Antara Indonesia dan Amerika Serikat memiliki titik persamaan. Misalnya sama-sama pernah mengalami penjajahan. Dan sama-sama memiliki rakyat yang majemuk. Sesungguhnya keanekaragaman latar belakang penduduk pada sebuah bangsa atau negara bukan untuk dipertentangkan melainkan sebuah kekayaan yang indah dan sedap dipandang mata laksana sebuah orkestra simphony yang indah. Tentu ini semua sangat tergantung dari kepiawaian sang konduktor atau derigennya.

Agaknya pesan inilah yang terpenting yang bisa kami tangkap dari kunjungan Presiden AS Barrack Hussein Obama ke Indonesia nanti. Tentu kunjungan beliau tidak sekedar kunjungan nostalgia masa kecilnya yang pernah sekolah di Menteng.
Amerika Serikat tidak pernah bermaksud memusuhi Islam. Lihatlah, kini tidak sedikit rakyat Amerika Serikat telah banyak yang melirik dan memeluk Islam. Dan masa depan peradaban manusia semakin nyata mereka memerlukan sebuah Agama yang mampu beriringan dengan kemajuan budaya dan peradabannya. Sesungguhnya Islamlah yang menjadi solusinya.
Stigma negatif terhadap Islam lahir dari rasa kebencian atau apriori. Perlawanan terhadap Imperialisme yang menjadikan Islam sebagai dinamo perjuangan dengan serta merta divonis 'terorist' secara sepihak. Inilah misalnya yang terjadi di Palestina.
Akhirnya melalui tulisan sederhana ini, kami berharap semogalah kunjungan Mr Obama ke Indonesia akan menjadi angin segar yang harum mewangi tidak saja dalam prespektif kepentingan bangsa Indonesia khususnya tapi juga kepentingan ummat Islam di seluruh dunia pada umumnya.
Moga bermanfaat !

Rabu, 27 Oktober 2010

Mbah Maridjan...Rasa Tanggung Jawabmu Itu


Saat tulisan ini dibuat pusat perhatian mass media pemberitaan di tanah air sedang mengarah ke sosok kakek tua yang akrab dipanggil dengan Mbah Maridjan.

Keberadaan Mbah Maridjan tidak dapat dipisahkan dengan "tingkah-polah" gunung Merapi yang terletak di daerah propinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dan seperti banyak diberitakan Gunung Merapi meletus, dengan memakan banyak korban termasuk Mbah Maridjan ikut gugur.

Sesungguhnya budaya masyarakat Indonesia dan khususnya sebagian masyarakat jawa. Gunung, benda-benda pusaka termasuk makam orang yang dihormati, harus diperlakukan "istimewa". Dan tidak semua orang dapat "berinteraksi" dengan sesuatu yang harus diistimewakan tersebut.

Agaknya inilah yang menjadikan sosok Mbah Maridjan keberadaannya dianggap penting guna "menjinakkan" gunung Merapi apabila mulai "bergaya".
Bagi ummat Islam, segala yang terjadi di muka bumi ini harus diyakini memiliki pesan-pesan hikmah yang harus ditangkap oleh keimanan dalam dada kita. Termasuk peristiwa meletusnya gunung Merapi itu.

Boleh jadi peristiwa itu merupakan isyarat bahwa kita harus banyak berbenah dari alpa dan dosa kepada Allah Swt, yang harus kita yakini pula Gunung Merapi meletus adalah karena izin serta kehendakNYA.

Melalui tulisan sederhana ini aku hanya bermaksud untuk sama-sama mencermati sosok Mbah Maridjan yang sangat risau akan keselamatan masyarakat yang tinggal di lereng gunung Merapi tatkala Gunung Merapi itu mulai "bertingkah".

Sebagai seseorang yang dianggap "bisa berinteraksi" dengan gunung Merapi laksana seorang pawang, Mbah Maridjan sangat menjunjung tinggi amanah yang diembankan kepadanya yang konon sejak Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX. Disini saya mengajak pembaca budiman untuk secara arif melihat hubungan Mbah Maridjan dan gunung Merapi dalam prespektif budaya sebagian masyarakat Jawa.

Hingga titik darah penghabisan, sebuah kalimat yang pantas untuk melukiskan akan pengorbanan Mbah Maridjan terhadap keselamatan masyarakat di sekitar gunung Merapi. Hingga beliaupun rela mengorbankan jiwanya sebagai wujud rasa tanggung jawab yang diyakini telah diembankan kepadanya oleh Ngarso Dhalem Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX.

Kalau saja filosofi rela berkorban demi rakyat banyak, sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh Mbah Maridjan, juga dianut oleh banyak pemimpin negeri ini, tentu tidak seperti pemberitaan di mass media akhir-akhir ini. Di mana banyak pejabat atau mantan pejabat berurusan dengan para penegak hukum karena nafsu keserakahan ingin kaya dan kenyang sendiri di atas penderitaan rakyat banyak.

Akhirnya dalam jeritan duka dan pilu di dalam dada kita, melihat potret negeri tercinta ini, mari kita doakan moga arwah Mbah Maridjan dan para korban bencana alam di manapun, semoga diterima disi sang Khaliq Allah Swt...Amiiiin

Moga bermanfaat...

Selasa, 26 Oktober 2010

Mencari Guru Dan Sekolah Terbaik


Setelah pensiun aku bertekad untuk tidak menyerah dengan waktu. Aku tidak ingin menunggu kematian. Maka yang harus aku lakukan adalah mencari pekerjaan dan kuliah lagi. Maka serasa diri ini masih muda. Soal rambut beruban bisa kuatasi dengan menyemir. Soal kebugaran fisik dapat aku atasi dengan rajin olahraga jogging atau main golf.

Pendek kata, aktivitas keseharianku tidak berbeda seperti waktu belum pensiun. Pagi kerja sore hingga malam kuliah lagi. Bila ada waktu senggang aku gunakan untuk menengok cucu atau mencari dan membaca buku terbaru.

Apa yang ada di benak pikiranku adalah berfikir dan terus memikirkan tentang segala yang berhubungan dengan ilmu dunia, tidak ada ruang untuk memikirkan hidup sesudah mati. Telinga ini serasa alergi bila ada yang mengajak bicara tentang Islam apalagi tentang akherat, rasanya aku tutup rapat-rapat.

Istriku berbeda prinsip, dia adalah aktivis pengajian ibu-ibu. Sering sekali rumahku dijadikan tempat pengajian. Sering pula aku diajaknya untuk ikut mendengarkan santapan rohani dari seorang ustadz, namun aku lebih suka pergi main golf atau pergi ke toko buku mencari buku baru.

Bapak sibuk siang malam. Bapak jarang di rumah. Biarpun udah pensiun bapak masih giat bekerja dan kuliah lagi. Inilah kata-kata yang sering dijadikan alasan oleh istri manakala para tetangga menanyakan tentang diriku. Bahkan anak-anakku yang sudah rumah tangga semua dan hidup mapan, untuk dapat berjumpa denganku tidak mudah. Harus membuat janji dulu. Kalaupun ada masalah hanya melalui telpon untuk membicarakannya.

Namun harus aku akui, semakin belajar dan mengejar ilmu dunia rasanya selalu kurang dan kurang terus. Dan makin penasaran untuk mencari tempat kuliah dan guru yang terbaik sesuai disiplin ilmu yang aku pelajari. Pokoknya asal aku tamat program S1 bidang suatu bidang studi akan aku lanjutkan untuk kuliah lagi mengambil bidang studi lainnya. Terus dan terus begitu.

Hingga suatu pagi terbetik berita bahwa tetangga sebelah meninggal dunia. Sebenarnya aku paling alergi dan takut bila datang ke tempat orang kematian. Namun karena yang meninggal ini adalah tetangga dekat, maka terpaksa aku harus mendatanginya.

Dari mulai memndikan mayatnya hingga mengkafani serta menguburkannya tanpa sadar, mataku menyaksikan meski di hati ada rasa takut tapi mau. Rekaman peristiwa itu terus membayang di memory fikiranku. Hingga larut malam saat istriku sholat tahajjud. Aku tidak bisa tidur dalam gelisah tak menentu. Apalagi saat istriku membaca Alqur'an.

Saat subuh tiba aku yang biasanya jarang sholat, hari itu badan dan jiwaku serasa ringan untuk sholat subuh. Aku tersadarkan dalam tafakur seusai sholat, bahwa umurku telah tua. Betapapun aku berusaha menghindari kematian, ternyata kedatangannya makin dekat dan tambah mendekat saja.

Ternyata aku telah menemukan guru dan sekolah terbaik untuk menyadarkan jiwa gersang yang selalu tidak pernah merasa puas ini, yaitu kematian.
Moga bermanfaat....

Senin, 25 Oktober 2010

Bukan Mereka Tapi KIta


Bukan mereka tapi kita, adalah jawabanku saat seorang teman mengeluh, karena hanya kami berdua saja yang peduli terhadap suatu masalah.....
Berikut contoh kasusnya....

1. Pada Saat Ronda Sisikamling. Malam itu hujan cukup lebat di kawasan perumahan kami yang terletak di perumahan BTN Pondok Ungu Permai Bekasi. Namun malam itu aku harus keluar rumah meskipun suhu udara dingin dan matapun berat karena mengantuk. Jam 00.00 tengah malam. Sesampainya di Pos Ronda, hanya kami berdua yang datang memenuhi jadwal giliran jaga. Seharusnya bila regu kami datang semua, akan ada 7 anggota. Setelah ditunggu-tunggu tetap saja kami berdua. Yang lainnya kemana ? Kawanku mengeluh dan berkata," mereka yang tidak datang kok enak sekali".
Lalu kujawab,"Biarkan saja mereka, sesuatu kebaikan tidak usah menunggu mereka tapi kita."

2. Pada saat kerja bakti. Sudah menjadi kewajiban rutin setiap bulan sekali, warga perumahan kami mengadakan kegiatan kerja bakti membersihkan sampah di lingkungan perumahan. Ternyata hanya beberapa warga saja yang datang utuk kerja bakti. Pada saat seperti itu, seorang kawan bertanya," kenapa mereka yang lain tidak datang ?" Dan kujawab," Untuk kebaikan bukan mereka tapi kita".


3. Pada Saat Hiruk Pikuk Kepadatan Lalu lintas. Betapa banyak pengendara motor maupun mobil yang tidak sabar saat mengalami kemacetan dan kepadatan lalu lintas di Jakarta. Sehingga banyak yang melanggar peraturan lalu lintas. Pada saat seperti itu, kawanku mengeluh dan mengajakku unuk berbuat hal yang sama salahnya dengan mereka yang melanggar. Namun kutolak sambil kukatakan, untuk taat peraturan bukan mereka tapi kita.

4. Untuk Sebuah kepedulian sosial. Usai sholat ashar di Masjid. Seperti biasa aku tidak langsung pulang. Kusempatkan diri ini untuk mengobrol dengan sesama jama'ah masjid. Sore itu kami bertiga mengobrol membicarakan berbagai persoalan dan tukar fikiran. Tak lama kemudian, kawanku memberitahu bahwa ada seorang anggota jama'ah Masjid yang sakit dan tidak memiliki biaya untuk berobat serta belum ada satu orangpun yang membezuk di rumahnya. Maka aku putuskan untuk mengajak kawanku untuk menjenguk dan aku ambil inisiatif untuk memulai menggalang dana. Ternyata kawanku ada yang berkata, sebaiknya menunggu mereka para jama'ah yang lainnya. Perkataannya ini langsung aku jawab, untuk kebaikan bukan mereka tapi kitalah yang memulai.

5. Dalam mendidik Anak. Istriku berkata, banyak orang tua yang tidak memperhatikan pendidkan akhlaq seorang anak. Akibatnya bsnysk anak remsjs ysng kecanduan narkoba hingga Nudzubillah tewas over dosis. Mereka para orang tua itu bagaimana kok bisa lalai mendidik moralitas anak ? demikian pertanyaan istriku, dan langsung aku jawab, " bukan mereka tapi kita yang harus pandai dan cermat mendidik moralitas atau Akhlaq anak".

6. Ada kalanya bukan lagi mereka atau kita yang harus mengawali berbuat baik, tapi diri sendiri dulu. Seperti saat Sholat subuh tiba, belum ada yang azan, sebab muazinnya sedang pulang kampung. Maka diri ini yang harus azan.


Semogalah tulisan dan contoh sederhana ini menyadarkan kita, untuk pekerjaan yang tidak ada imbalan materinya amatlah sulit walaupun hal itu suatu kebajikan yang hakiki. Semoga bermanfaat.