Tampilkan postingan dengan label belanda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label belanda. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Oktober 2010

Bawa Isi Hatiku Ke Jakarta


Sore itu usai sudah aku memeriksa keuangan kantor cabang di daerah Bandung selatan. Sebuah kawasan yang indah, adem nan asri.

Setelah berpamitan dengan kepala cabang dan para stafnya, akupun bergegas menuju mobil yang akan membawaku kembali ke Jakarta.

Baru setengah jam perjalanan, ban mobil tiba-tiba kempes. Beruntung, tukang tambal ban tidak terlalu jauh.

Sambil menunggu ban mobil di tambal, aku coba menghampiri para penduduk desa yang sedari tadi memperhatikan ke arah mobil kami. Mereka sedang duduk ngobrol di pos jaga kampung. Jumlah mereka enam orang. Ada beberapa yang sepuh tapi ada pula yang masih relatif muda.

Setelah mengucapkan salam dan berjabatan tangan, segera saja kucoba mengajak mereka bercakap-cakap.

Salah satu dari mereka yang sudah lumayan sepuh namun masih terlihat sehat, kuketahui kemudian bernama Pak Veteran. Ia memang mantan pejuang kemerdekaan yang telah berusia lanjut. Namun tutur katanya masih cukup jelas.

Ia berkata, tolong sampaikan salamku kepada para pejabat di Ibukota. Sebagai mantan pejuang saya prihatin atas banyaknya mantan pejabat yang masuk tahanan. Hampir tiap malam berita di televisi yang ada hanyalah berita pengadilan bagi para mantan pejabat. Apalagi jika terjadi bencana alam tambah menyedihkan.

Sambil menyeruput kopi, ia kembali berujar, kalau masa kami dulu, berperang melawan Belanda yang menjajah. Tapi kini perangnya melawan diri sendiri, melawan hawa nafsu. Nafsu untuk memperkaya diri. Sementara rakyat jelata selalu rela hidup prihatin.

Begitu berat pesan bapak Veteran ini hingga aku mendengar sambil tertunduk diam.

Anak-anak muda di kampung ini, banyak yang cari pekerjaan ke kota besar. Lepas sekolah mereka mencari penghidupan ke Bandung atau Jakarta, sedangkan lapangan kerja di kota sangatlah sulit, kembali pak Veteran berujar.

Anak Jakarta, kalau engkau sedang kaya janganlah berfoya-foya. Kalu isi dompetmu sedang penuh jangan lupa bersedekah. Di kampung sini tidak ada Mall, tapi kami sudah cukup senang melihatnya di televisi, demikian pak Veteran bertutur yang dalam kurasakan di hati.

Sekali lagi anak muda, kita telah merdeka dari penjajahan fisik. Namun bangsa kita belum mencapai tujuan dan harapan kemerdekaannya. Maka tolong sampaikan isi hatiku ke pejabat-pejabat di Jakarta, walau kami sebagai rakyat hidup dalam suasana prihatin, namun kami tetap memiliki rasa cinta kepada tanah air. Berbeda dengan mereka para koruptor yang sejatinya pengkhianat bangsa, demikian pak Veteran mencoba mengakhiri pesan dari guratan hatinya.

Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutku selain diam merekam curahan hati pak Veteran.
Dari kejauhan kulihat, driver mobil jemputan melambaikan tangannya pertanda mobil telah siap kembali melanjutkan perjalanan.

Dengan segera pula aku berpamitan dengan mereka untuk kembali ke Jakarta. Semoga bermanfaat.

Jumat, 15 Oktober 2010

Yang Salah Belanda


Malam itu aku bosan melihat semua acara TV yang membosankan. sementara jam di dinding sudah jam 9 malam. Anak istri sudah terlelap tidur. Mau ikut tidur tapi mataku belum mengantuk. Sementara di luar sana sayup-sayup semakin ramai para tetanggaku asyik mengobrol di pos keamanan samping rumah. Kayaknya menarik untuk ikutan nimbrung.

Maka segera saja aku matikan televisi, dan setelah ganti baju aku segera keluar rumah. Mulanya aku tidak langsung menghampiri mereka. tetapi dari jauh mencoba mendengar apa dan siapa yang dibicarakan dan bicara. Sambil kaki ini melangkah pelan menghampiri.

Di pos keamanan itu ada empat orang yang membicarakan keadaan lingkungan perumahan kami hingga masalah negara yang carut marut. Nada pembicaraan mereka makin seru karena saling adu argumen. Dan tidak ada yang mau kalah.

Empat orang tetanggaku itu bernama Pak Lambe, Pak ilat, Pak Mulut, Pak Dover. Berikut kutipan percakapannya....

Pak lambe berkata : Sebenarnya Rt yang harus bertanggung jawab atas terjadinya banjir karena tidak pernah menyuruh warganya kerjabakti membersihkan selokan.

Pak ilat berkata : Bukannya Rt yang salah tapi Rw yang salah. Kenapa sudah tahu di lingkungan kita seringh terjadi banjir, tidak pernah menyuruh para Rtnya untuk menggerakkan warganya kerja bakti.

Pak Mulut berkata : Bukan Rt atau Rw yang salah tapi walikota atau gubernurnya tidak responsif terhadap persoalan banjir. Jadinya begini tiap hujan lebat selalu banjir.

Pak Dover berkata : Negara kita udah amburadul makanya udah kagak ada yang benar. Salah semuanya. Rt salah Rw salah Walikota salah Gubernur apalagi.

Pak ilat berkata : Sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya di negeri ini, semuanya pada tidak jujur kepada rakyatnya.

Kini giliran diriku berkata : Daripada kita menyalahkan orang lebih baik sesuatu kebaikan itu dimulai dari diri kita masing-masing dahulu. Masalah kebersihan lingkungan mulailah dari memeriksa saluran got di sekitar rumah masing-masing. Tidak usah nunggu Rt atau Rw.
Demikian pula masalah kejujuran tidak usah menyalahkan pejabat-pejabat yang di atas, tapi mulailah dari diri kita terlebih dulu.
Dan bila mau menyalahkan atau mencari kambing hitam yang paling bertanggunhg jawab kenapa ini bisa terjadi salahkan saja Belanda, kenapa dulu mereka menjajah bangsa kita. Akibat penjajahan Belanda, banyak oknum bangsa kita mewarisi moralitas negatif kaum penjajah. Yaitu senang memerintah, senang disanjung, senang dipertuankan, senang menindas. Bukan melayani tapi minta dilayani.

Tak lama setelah aku berbicara, satu persatu kami yang berdialog di pos keamanan akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Dan akupun turut pulang dan langsung menuju tempat tidur. Semoga bermanfaat...