Minggu, 10 Oktober 2010

Ini Urusan Pribadi Saya


Ini urusan pribadi saya ! suatu jawaban yang digunakan oleh seseorang seperti contoh kasus di bawah ini.

1. Seorang ayah menegur anaknya yang malas sholat dan dijawab, 'ini urusan pri-
badi saya'.

2. Seorang ibu menegur anak gadisnya agar memakai jilbab, dan dijawab 'ini uru
san pribadi saya.

3. Sorang suami menegur istrinya agar rajin ikut pengajian dan dijawab, 'ini
urusan pribadi saya'.

4. Seorang istri mengingatkan suami agar bangun sholat subuh, dan dijawab 'ini
urusan pribadi saya'.

5. Seorang kakak menegur adiknya agar jangan pacaran dan gaul bebas, dan di-
jawab 'ini urusan pribadi saya'.

6. Seorang adik menasehati kakaknya agar jangan merokok, dan dijawab 'ini uru-
san pribadi saya'.

7. Seorang menegur sahabatnya agar jangan main judi, dan dijawab'ini urusan
pribadi saya.

8. Seorang nenek menegur cucunya agar jangan kebut-kebutan di jalan, dan di
jawab, 'ini urusan pribadi saya.

9. Seorang ibu menegur anak yang naik motor standarnya lupa ditutup, dan dija-
wab, 'ini urusan pribadi saya.

Demikianlah sekelumit contoh jawaban mereka yang entah karena gengsi atau apa selalu menjawab 'ini urusan pribadi saya'.
Sesungguhnya manusia umumnya lebih senang disanjung-sanjung ketimbang dikritik, walaupun kritik yang membangun.
dan bukankah Islam mengajarkankan kepada kita untuk saling menasehati !?

Sabtu, 09 Oktober 2010

Tolak Bogem Mentah


Negeri Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Memiliki aneka ragam kekayaan alam dan aneka ragam suku bangsa. Keaneka ragaman suku bangsa adalah aset yang jika bisa kita synergykan merupakan kekuatan yang besar dan ampuh dalam membangun bangsa yang berkarakter.

Tapi laksana paduan musik semuanya tentu sangat tergantung kepiawaian sang derigen dalam mengelola potensi itu.

Prihatin sedih manakala kita hampir setiap hari melihat amuk massa yang terjadi di wilayah negara kita. Dari tingkat anak sekolah yang saling mengejek hingga tingkat mahasiswa yang saling membanggakan fakultas atau almamaternya. Bahkan di tingkat yang paling terhormat di tingkat dewan perwakilan rakyat pusat atau daerah terjadi saling perbedaan pendapat yang berujung benturan fisik.

Belum lagi bila terjadi adu domba atau saling provokasi antar suku bangsa, akibatnya sungguh sangat fatal. Dan bila ini terjadi lagi-lagi rakyat kecil juga yang akan terkena dampaknya. Konon bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi norma atau adab pergaulan. Meski memilik latar belakang yang sangat berbeda.

Melalui tulisan sederhana ini aku ingin mengajak kaum muslimin yang merupakan mayoritas penduduk di bumi Allah swt Indonesia, untuk menjadi pelopor bahkan soko guru terjadinya kehidupan yang harmonis. Sebab bila terjadi konflik horisontal, yang terkena dampaknya dapat dipastikan adalah ummat Islam.

Adalah Rosul Muhammad saw, teladan dan panutan ummat Islam yang telah berhasil membangun negara Madinah. Beliau memulainya dari Masjid yang langsung beliau dirikan setiba di kota Madinah.
Persaudaraan yang beliau ajarkan memiliki tiga prinsip. Pertama saling mengenal, kedua saling memahami dan ketiga saling menanggung beban (gotong royong).
Jika ketiga hal ini dapat diwujudkan dan dapat diejawantahkan secara operasional di lingkungan terkecil seperti pada sebuah Masjid, niscaya merupakan langkah teladan dan strategis bagi kehidupan masyarakat yang harmonis dan dinamis.
Sayangnya, dalam kehidupan organisasi (berjama'ah) di Masjid hal itu hampir-hampir tidak kita temukan lagi. Masih sering kita temukan perbedaan pendapat dalam hal yang tidak prinsip. Hal ini justru diperuncing, karena dibumbui nafsu egoisme serta kebanggaan kelompok.
Masih banyak ummat Islam yang lebih suka sholat sendirian di rumah ketimbang berjamaah sambil bermasyarakat di Masjid lingkungan terdekat. Dan bila sholat di Masjidpun hanya sekedar sholat saja, tanpa menyempatkan waktu untuk beranjangsana atau saling tukar fikiran dan info. Akibatnya terjadi kehidupan masyarakat yang damai tapi gersang.

Coba kita melihat kehidupan Masjid-Masjid yang di wilayahnya terjadi konflik horisonatal. Apakah Masjid itu sudah berfungsi optimal dalam menumbuhkan rasa saling menyayangi atau justru sering terkunci bila waktu sholat tiba.

Tulisan ini tentu saja tidak bermaksud menyederhanakan banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya konflik sosial, tapi paling tidak ingin menyumbangkan fikiran akan pentingnya fungsi Masjid untuk meredam potensi konflik seminimal mungkin. Semoga !

Jumat, 08 Oktober 2010

Biarkan Daku Ikut Penyair Gila


Peluh keringat masih mengucur deras di sekujur tubuhku, tak terasa malam akan menjelang. Entah sampai kapan diri ini menjalani nasib sebagai budak yang selalu dipaksa kerja bagai kuda.

Majikanku orangnya kaya raya dan berdarah bangsawan. Selain aku masih puluhan budak lain yang ia miliki. Tanpa bermaksud memuji diri sendiri, nampaknya aku yang menjadi tangan kanannya. Tidak ada yang istimewa dalam diri ini, selain postur tinggi besar dan tenaga yang lumayan kuat, mungkin kemampuan otakku yang cepat memahami apa yang majikan perintahkan. Inilah yang nampaknya menjadi pertimbangan majikan selalu mempercayaiku.

Bosan dan bosan inilah yang aku rasakan. Rasanya ingin lari saja, tapi akupun takut resikonya. Sebab bila tertangkap pastilah aku disiksa. Tapi bila jalan hidup ini terus aku jalani, rasanya tak kuat lagi. Aku merasa tercipta sebagai manusia dan bukan binatang tapi manjikanku sering berbuat sewenang-wenang.

Malam ini harus cepat tidur. Karena lewat tengah malam nanti harus ke rumah seorang sahabatku. Namanya Bilal, sama seperti diri ini, ia dulu juga seorang budak. Dan belum lama ia dimerdekakan. Aku ingin tahu lebih lanjut tentang suara dari langit. Yang konon sering didengar dan diterima oleh seseorang yang mengaku dirinya Nabi. Untuk itulah aku ingin tahu siapa dan apa yang diajarkannya. Sedang Bilal katanya sudah menjadi pengikutnya. Maka aku jadi sangat ingin tahu, dan kalau ajarannya bagus tentu aku mau juga ikut.

Tapi akhir-akhir ini banyak orang di kota Mekkah yang diam-diam membicarakan suara dari langit itu. Pernah majikanku berkata kepada temannya sesama orang kaya dan bangsawan Mekkah, agar tidak mempercayai penyair gila itu.
Tekadku sudah bulat, aku ingin tahu dari Bilal, siapa dan apa yang diajarkannya. Mumpung majikan sudah tertidur lelap, dan teman-teman budak juga sudah tidur, dengan mengendap-ngendap aku pergi ke rumah Bilal. Dan Sebelum ayam jago berkokok aku sudah harus ada di rumah ini kembali.
Ternyata orang itu bernama Muhammad. Aku baru tahu dari Bilal. selama ini yang sering aku dengar orang mengolok-oloknya dengan sebutan penyair gila.
Masih jelas apa yang diceritakan Bilal kepadaku. Bahwa semua manusia derajatnya sama. Tidak ada bangsawan tidak ada budak, tidak ada bedanya kaya dan miskin. yang mebedakannya hanyalah Taqwanya saja. Dan pencipta alam semesta ini adalah Allah yang Maha Esa. Sementara arca-arca berhala itu bukan apa-apa dan harus dijauhi.
Oleh Bilal aku diajaknya ikut rombongan Muhammad yang hendak pindah ke kota Madinah. Hanya satu jalan bila aku memang jadi mau ikut mereka. Aku harus kabur dari majikanku. Maka sebelum pergi, aku tinggalkan pesan yang tertulis di atas kulit. Pesan kepada majikanku singkat, biarkan aku ikut penyair gila.

Kamis, 07 Oktober 2010

Makna Modern


Di sebuah pulau terpencil di lautan Karibia Amerika latin. Seorang pemuda desa bernama Gumun. Ia anak desa yang hidup di tengah lebatnya hutan. Pekerjaannya hanyalah berburu dan berkebun.

Sebagaimana penduduk desa yang taraf hidupnya sangat terbelakang dan primitif. Ia akan sangat terpukau melihat orang asing yang datang. Biasanya para turis yang hendak berlibur dan berjemur menikmati indahnya panorama pasir putih dan gelombang air laut untuk bersilancar.

Meski pulau tempat tinggal Gumun adalah pulau yang indah namun sangat jarang turis yang datang berlibur ke sana. Maklumlah lokasinya sangat jauh dari daratan. Kecuali para turis, yang datang ke pulau itu adalah para ilmuwan yang hendak riset tentang budaya dan kandungan alam yang terdapat di pulau itu.

Untuk melihat dunia luar melalui televisi haruslah melalui televisi satelit yang terdapat di kantor perwakilan sebuah lembaga riset. Maka tiap malam, Si Gumun dan warga desa banyak yang menonton televisi di kantor itu.

Rasa penasaran dan mimpi untuk bisa melihat dari dekat berbagai keindahan kota besar dan modern yang ditampilkan dalam layar Tv, membuat Gumun berkhayal kapan suatu ketika bisa pergi ke kota besar yang paling dekat dengan pulau itu yang jaraknya bila naik kapal laut harus menempuh perjalanan 2 malam.

Hasrat ingin tahu kehidupan modern di kota besar Gumun sampaikan ke salah seorang ilmuwan peneliti yang telah akrab dengannya. Bernama Prof, Encher. Beruntung sang profesor baik hati karena juga ingin memperkenalkan contoh penduduk asli kepada para mahasiswanya tempat Profesor Encher mengajar di sebuah Universitas di kota besar yang terdapat di negara wilayah pulau itu berada.

Maka Profesor Encher dengan semangatnya mengajak Gumun pergi ke kota besar, untuk memenuhi rasa ingin tahu Gumun tentang makna modern.
Sesampainya di kota besar itu, Gumun sangat terpesona melihat ribuan mobil lalu lalang hilir mudik. ada yang di bawah ada yang di atas. Ada yang di samping. Begitupula saat malam tiba. Lampu kota yang temaram mebuat mata Gumun sulit berkedip,
apalagi melihat gadis-gadis kota yang hilir mudik membuat nafsu normalnya bergairah.

Gumun bertanya pada Profesor Encher. Apakah ini yang namanya modern ? Sang profesor berkata bukan ini yang ia ingin perlihatkan kepada Gumun. Ada sesuatu yang ia ingin perlihatkan kepada Gumun. membuat hati gumun makin penasaran saja dibuatnya.

Profesor dan Gumun akhirnya masuk ke sebuah Night Club yang ada di kota besar itu. Dan suasana Night Club yang bergemuruh dengan alunan musik yang menghentak-hentak disertai tata lampu yang gemerlap, dan banyak manusia yang bergoyang meliuk-liuk membuat Gumun berbisik dan bertanya lagi, apa ini yang akan diperlihatkan oleh Profesor Encher ? Bukan, sabar nanti jam 12 malam kamu akan melihat sesuatu yang seru.

Rasa penasaran Gumun makin menjadi-jadi, tak sabar menanti., jam 12 malam tiba.
Dan tepat jam 12 malam tiba-tiba ruangan dalam Night Club lampunya padam. Musik pun berganti musik lembut memanja. Tidak lama kemudian, lampu hanya menyorot tubuh wanita yang berdiri di atas panggung pertunjukan. Dengan diiringi musik lembut yang makin keras, wanita yang semula berpakaian sopan ini lambat laun menanggalkan pakaiannya satu persatu hingga polos bugil.

Tepuk tangan sorak-sorai menyambut atraksi ini. Tapi anehnya Gumun biasa saja. Tidak menunjukkan reaksi sebagaimana orang yang melihat pertunjukan itu.
Profesor Encher tidak dapat menutupi keheranannya atas reaksi Gumun yang dingin saja. Kenapa kamu ? Kok diam saja ? Ini yang namanya modern....ini yang namanya hidup di kota megapolitan. Begitu profesor Encher berkata kepada Gumun.
Dengan entengnya Gumun berkata lirih kepada Profesor, bahwa apa yang ia saksikan barusan bukanlah sesuatu yang aneh baginya. Karena pemandangan serupa hampir tiap hari ia saksikan di pulau terpencil dan primitif tempat ia tinggal sejak lahir.
Demikian sekelumit cerita tentang orang yang mencari makna modern. Kita jangan salah menilai arti modern. Modern bukan kumpul kebo, bukan minuman keras, modern bukan telanjang. Kehidupan modern kiranya manusia menemukan jati dirinya yang sejati sebagi makhluk Allah swt yang beradab dan berakhlaq mulia. Wallahu 'alam

Rabu, 06 Oktober 2010

Kemiskinan Lahir Bathin


Maksud hatiku ingin melihat dan memperhatikan acara berita di televisi, sambil minum kopi pagi.Namun tiba-tiba handphone di kantong baju berbunyi. Ternyata ada permintaan ambulan untuk mengangkut jenazah.

Pekerjaan sebagai sopir ambulan membuat diriku mendapat banyak pengalaman. Salah satunya yang hendak aku ceritakan kepadamu.

Di daerah pemukiman padat dan kumuh serta miskin. Amubulan yang aku setir berhenti karena ada jenasah yang perlu diangkut.

Daerah yang kumuh dan miskin yang kumaksud lokasinya di utara kota Jakarta. Daerah ini terkenal dengan praktek prostitusi kelas bawah. Ditambah dengan jual beli narkotika dan obat terlarang juga minuman keras. Maka tak heran bila di daerah ini angka terjadinya kriminalitas atau tindak kejahatan sangatlah tinggi.

Bila waktu sholat tiba, azan dari Masjid atu Mushola bersahutan di daerah ini.
Tapi faktanya hanya sedikit orang yang mau melangkahkan kakinya ke Masjid atau Mushola. Kebanyakan mereka terus sibuk dengan urusannya. Bagi mereka mencari makan jauh lebih diutamakan. Agama hanya di pandang urusan orang tua yang mau mati.

Demikian keadaaan daerah itu yang sedikit dapat aku lukiskan. Sementara menunggu jenasah di masukkan ke dalam ambulan. Mataku terus mangamati dan mencari tahu segala informasi di daerah ini. Diam-diam akupun bertanya siapa yang meninggal dan apa sebabnya ? Selidik punya selidik ternyata yang meninggal adalah anak muda yang over dosis karena mengkonsumsi obat-obat terlarang. Yang sedihnya lagi, setahun yang lalu kakaknya juga tewas karena kasus yang hampir sama. Tewas karena mabok minuman keras setelah sepeda motor yang ia naiki bersama wanita malam menabrak tembok jembatan hingga kepalanya terbentur dan retak.

Beginilah sekelumit gambaran akibat kemiskinan lahir bathin. Secara materi lemah secara spritual juga miskin.
Dalam realita kehidupan, kemiskinan terbagi dua. Ada miskin struktural ada pula miskin kultural. Boleh jadi kita miskin secara ekonomi urusan perut tapi jangan sampai miskin intelektualitas di otak apalagi jangan sampai miskin keimanan di dada.
Semoga tulisan sederhana ini mampu mengingatkan diri kita agar memperkaya wawasan keimananan ataupun spiritualitas kita. Semoga