Sabtu, 18 September 2010

Selamat Tinggal Dusta !


Setahun sudah diriku berkerja sebagai Rceptionist dan operator telepon di sebuah perusahaan swasta. Tak tersaa waktu berlalu begitu cepatnya dari lebaran ke lebaran.

Mencari pekerjaan sesuai cita-cita hidupku tidaklah mudah. Hingga aku diajak ke Jakarta oleh paman, ia adalah seorang security senior di kantornya. Tanpa pertolongannya mungkin diriku masih terlunta-lunta mencari kerja kesana kemari.

Awalnya sebagai anak desa yang biasa berkata apa adanya kepada semua orang, merasa canggung menjadi operator telpon kantor yang harus pandai memutar balikkan kata dengan cara seribu satu alasan. Tapi karena tuntutan profesi akhirnya, lama kelamaan biasa dan enak juga pandai berbohong sesuai pesanan teman sekantor yang tidak mau menerima telpon atau tamu.

Sampai akhirnya aku tersadarkan ketika pulang kerja diriku dikejutkan oleh pengemis bisu yang datang menghampiri untuk meminta sekedar uang seikhlasku. Waktu itu spontan kuberikan uang seribu kembalian angkot yang mengantarkanku pulang ke kost-kosan.

Maghribpun tiba. Usai sholat biasanya langsung makan. Tapi kali ini tidak. Wajah pengemis bisu masih terekam dalam benakku. Di hati ada bisikkan, bahwa apa yang kukerjakan di kantor sebagai receptionist dan operator telpon yang pandai berdusta adalah sebuah dosa. Dosa mengapa kata-kata itu seakan menggema di relung jiwaku hingga nafsu makan malam sirna.

Menjelang terlelap untuk besok kembali kerja, aku beristighfar dalam-dalam memohon ampun dan petunjukNya. Moga diberikan alternatif solusi.
Keesokan harinya di depan meja operator wajahku tidak secerah hari-hari kemaren kerena bayangan dosa dan wajah pengemis bisu. Alangkah tercelanya aku, diberi Allah Swt Sang Khalik lidah namun kugunakan untuk berdusta hanya demi uang yang lebih sedikit dari UMR.

Maka tiap sholat aku slalu berdoa. Kecamuk dalam hatiku tak kucritakan pada siapapun meski keterman akrab. Banyak teman yang bertanya mengapa penampilan wajah ini tak ceria seceria biasanya.

Alhamdulillah doaku yang sungguh-sungguh telah terkabulkan. Menjelang Ramadhan tahun ini ada bagian yang kosong di purchasing dept. Dan oleh atasan diriku dicalonkan menempati posisi itu. Syukur tak terhingga ketika aku secara resmi diberi tahu.

Dan terhitung sejak hari pertama kerja usai libur lebaran, diriku menemapati ruang dan kursi meja baru tidak lagi di meja operator telpon. Semogalah ditempat yang baru ini tidak ada kamuflase kata dan laporan yang menjadi beban dosa bagiku.

Sekedar tulisan sederhana dari hasil curhat seseorang padaku. Moga bermanfaat,

Sawang Sinawang Di Balik Opor Ketupat Silaturrahim


Usai Sholat Idul Fitri segera aku bergegas pulang ke rumah. Di sebuah desa ijo royo-royo nan permai subur di Jawa tengah.
Hasrat tak tertahankan untuk segera mencicipi masakan opor ayam berikut sambal goreng kentang dan krupuk mlinjo yang bersynergy dengan ketupat. Menambah cita rasa hari raya semakin riang bersama mentari pagi cerah mengusir mega di pagi itu. Begitu rindunya diri ini dengan masakan khas hari raya ini, yang jika dihidangkan di luar idul fitri rasanya tak seenak kali ini.

Niat hati ingin nambah sepiring lagi, namun pintu rumah diketuk. Segera istriku membukanya. Rupanya anak tetangga sebelah datang bersama istri dan anak-anaknya. Dia adalah Mas Mumpung bersama Mbak Ndharani. Sosok keluarga yang sukses dalam karier materi di Jakarta. Dua malam lalu mudik bersama mobil barunya yang tiap tahun ganti.

Wow wajah Mas Mumpung dan Mbak Ndharani begitu semringah bersama baju batiknya yang ngejreng mengkilat sebanding dengan cat mobilnya yang masih mulus licin. Maka mulailah obrolan dibuka dengan tanya menanya interview pengalaman di jalan mudik. Arah perbincangan lalu ke arah pendidikan anak. Menyekolahkan anak jangan takut biaya mahal katanya. Untuk masa depan anak sebagai orang tua mesti optimal.

Begitu juga Mbak Ndharani sangat bersemangat dalam presentasinya tentang cara jitu menambah dan membantu penghasilan suami. Membuat mata istriku sulit berkedip melihat kedua tangan Mbak Ndharani aktraktif bagai memamerkan gelang-gelang tangannya yang gemercing nyaring.

Obrolan beralih kepada soal perawatan mobil yang menurut Mas Mumpung, untuk soal mobil jangan ragu untuk berganti mobil bila mobil sudah mulai rewel. Daripada rewel-rewel segera saja diganti katanya. Dan harus berani meninggalkan bensin premium demi kualitas mesin yang prima.
Hampir 30 menit kami berbincang nampaknya Mas Mumpung dan Mbak Ndharani sangat antusias memotivasi kami. Kami sebagai tuan rumah hanya pasif mendengarkan.

Dan tiba-tiba datang tamu kami berikutnya. Dia adalah Mas Sabar dan Mbak Prihatin. Setelah Mas Mumpung dan Mbak Ndharani mohon izin pulang. Obrolan kami dengan Mas Sabar dan Mbak Prihatin lebih bebas. Mas Sabar adalah sosok pekerja keras yang tegar menghadapi perjuangan hidup di kota besar Jakarta.

Dua hari lalu mereka mudik berjejal-jejal di kereta ekonomi. Anak-anaknya tidak ada yang ikut demi penghematan biaya. Mas Sabar bercerita tentang persaingan usaha yang ketat. Untuk mencari yang haram saja susah apalagi yang halal katanya bergurau. Dari raut wajah Mas Sabar dan Mbak Prihatin terpancar jiwa yang tegar dalam pergulatan hidunya di kolong langit Jakarta.

Meski dihimpit oleh beban hidup mereka tabah,tetap tersenyum tiada kata surut kebelakang. Yang mereka butuhkan selalu adalah doa dari orang tuanya yang masih hidup di kampung sebagai bekal moril perjuangan hidup di Jakarta. Untuk itulah mereka selalu berusaha mudik meski berhimpit-himpit di kereta ekonomi.

Melalui tulisan sederhana ini, aku hanya mampu bercerita padamu akan warna-warni cerita hidup anak manusia yang kita mesti mampu mengambil pelajaran darinya. Dan inilah yang kurekam dalam acara silatrurrahim Idul Fitri 1431 di kampung halaman. Semoga ada manfaatnya.

Rabu, 08 September 2010

Tetes Air Mata Bening Di Hari Nan Fitri


Gema takbir mengAgungkan AsmaNya membahana di angkasa raya. 1 Syawal telah tiba. Setelah sebulan hawa nafsu dilatih untuk bisa dikendalikan. Kini insan-insan peraih predikat Muttaqin dari bibirnya yang kembali fitri terucap takbir, tahlil, tasbih dan tahmid. Untuk satu tujuan yaitu mengAgungkan ZatNya yang Maha Mulia Allahu Akbar...Allahu Akbar...

Sedang diriku kudapati duduk termangu dalam sajadah sholat subuh di surau yang kembali sunyi. Lamunanku terbayang ke wajah orang tua yang telah tiada. Wajah mereka serasa datang mendekat di pelupuk mata. Airmata kupun meleleh deras....

Bersama gema takbir hatiku serasa tersayat-sayat melihat rekaman dosa yang pernah kulakukan. Gambar kelakuanku yang tak patut diceritakan itu seakan diperlihatkan di pelupuk mata ini. Ya Allah hamba mohon ampun......Ampuni Ya Allah.

Kepalaku merunduk makin pilu mengingat berbagai dosa dan kesalahan yang tak berimbang dengan catatan minus pahala. Ya Allah hapuslah catatan kelam itu.


Makin terisak tangisku...atas dosa menyakiti hati saudara dan teman. Maksudku bercanda tapi sangat mungkin hati mereka terlukai. Kusegera berniat mencarinya untuk memohon maaf dalam silaturrahim nanti.

Mentari 1 Syawal maikin meninggi gema takbir pun makin keras terdengar, aku bangkit dari renungan di atas sajadah surau kecil di pojok kampung.

Bibir dan lisan ini ikut bertakbir mengAgungkan AsmaNya. Dan segera ku ayun langkah menuju lapangan Sholat Idul fitri.

Selepas bersujud dalam khusyuknya Sholat Idul Firi kupeluk satu persatu teman dan sahabat karibku yang boleh jadi pernah terlukai.

Bersama hangatnya hidangan opor ayam dan ketupat lebaran, ku rendahkan diri ini di hadapan orang tua yang masih ada untuk memohon maaf sekaligus mohon berkah doanya bagi kelangsungan dan kelancaran perjuangan hidup menggapai rizki halal di masa mendatang.

Dan bersama tulisan sederhana ini ku bermohon maaf padamu. Jika dalam tulisan-tulisanku ada yang membuat hatimu terlukai.

Terimalah ketulusan hati yang terbingkai butiran air mata suci 1 Syawal untuk memohon maaf padamu.

Akhirnya kuucapkan Minal Aidin Al Faiziiin Taqabalallahu Minna Wa Minkum. Salam Hangat Dari Seno dan keluarga

Sabtu, 04 September 2010

Minal Aidin Al Faiziin Goresan Tanganku Di Akhir Ramadhan




Tulisan tangan dari seorang hamba Allah ditujukan kepada diri pribadi dan para pembaca tercinta.

Hari demi hari kita menapaki bulan Ramadhan ini. Ada kenangan sahur ada kenangan berbuka ada kenangan tarweh dan tadarrus.
Akankah semua akan kembali seperti hari-hari sebelum Ramadhan.

Perut kembali kenyang kerongkongan kembali basah mengair. Bibir kembali bebas dalam alam merdeka wicara penuh canda kamuflase.

Sholat kembali tiada berjiwa hanya formalitas rutin, sajadah sholat malam tersimpan kembali, begitu pula Alqur'an jadi terlupa oleh koran yang rajin datang pagi, mukena dan jilbab terkoleksi hanya sesekali waktu bila perlu.


Dompet sodaqoh tertutup rapat rapih dalam kancing pelit.
Haruskah semua beraakhir....bersama padamnya lampu surau yang meratap rindu datangnya tarweh lagi ????

Semoga kita selalu sadar bahwa Ramadhan bukan akhir tapi awal dari perjuangan melawan Syetan yang rajin menipu dan menjebak. Dan kita jangan sampai terperdaya.

Taqoballallahu Minna Wa Minkum Minal Aidin Al Faaiziin

Salam Dari Seno Sekeluarga.

Kamis, 02 September 2010

Menyikapi Negara Jiran Dengan Bijak


Tulisan yang kubuat ini tidaklah bermaksud untuk mengajari, apalagi menghasut. Juga bukan untuk memojokkan pihak pemerintah Republik Indonesia. Melainkan sekedar mencoba urun rembug atau sumbang saran moga ada manfaatnya.

Antara Indonesia dan Malaysia ditakdirkan memiliki banyak persamaan. Yang membedakan hanyalah dari segi kesejahteraan. Berjuta anak negeri kita pergi berbondong-bondong ke negeri jiran untuk merubah nasib. Ada yang berhasil tapi banyak pula yang pulang dengan tangan kosong bahkan pulang nama.

Mestinya ini menjadi bahan mawas diri bagi para petinggi negeri, para pengambil kebijakan, agar selalu berupaya mencarikan solusi untuk menekan gelombang para pencari kerja ke negeri jiran.

Tentu kita tersinggung manakala bangsa kita dihina dilecehkan di negeri orang. Bila mau mencari siapa yang salah. Salahkanlah para tikus-tikus koruptor yang mencuri uang rakyat yang hakikatnya adalah pengkhianat bangsa dan negara. disebabkan perbuatan mereka maka negara kita dirugikan yang pada akhirnya kesejahteraan rakyat tak kunjung tiba.

Harus diakui meski bangsa kita telah merdeka sejak 17 Agustus 1945, ternyata penjajahan masih terjadi. Yang menjajah bukan 'bule belanda' melainkan para 'londho ireng' yang memakai dasi bermental 'aji mumpung'. Mereka tega mengkorupsi uang rakyat.

Kepala kita harus tegak karena memiliki harga diri, kita jangan mau dihina. Bersamaan dengan itu hukuman bagi para koruptor pengkhianat negara harus diperberat. Sebab sehebat apapun pembangunan untuk mensejahterakan rakyat, akan sia-sia jika segala praktek ketidakjujuran terus berlangsung.


Menyikapi tindakan tidak terpuji negara jiran, maka sebagai bangsa yang menjunjung norma budaya yang tinggi, kita seyogyanya lebih mengedepankan cara yang santun. Cara santun bukan berarti lembek dan lemah. Cara santun tidak sama dengan takut. Budaya berbalas pantun meski terdengar lembut namun bisa sangat mengena dan tajam dijiwa. Kita percaya bahwa masih banyak orang Malaysia yang waras hatinya.

Melalui tulisan sederhana ini aku menyerukan, agar Indonesia mencoba jalur diplomasi tidak resmi. Peran para tokoh Ulama dan ketua ormas Islam harus lebih menonjol dan memposisikan diri. Tidak ada kata terlambat untuk mencoba. Saya yakin Malaysia akan mendengar tutur kata para tokoh Islam Indonesia.

Semoga di masa depan jika terjadi perselisihan antar Indonesia dan Malaysia akan terjadi titian muhibah atau kunjungan persahabatan atas dasar pemikiran positif untuk saling menghargai. Dan disinilah peran ulama yang tidak memiliki pamrih politik sangat dinantikan. Semoga !