Rabu, 26 Januari 2011

Sutradara Rekayasa


Menjadi seorang pemimpin perusahaan yang memimpin banyak anak buah, sudah pasti memiliki banyak kesan terhadap pribadi masing-masing anak buah.
Ada yang jujur ada yang yesman ada yang cari muka ada yang nakal. Bahkan ada yang vocal atau kritis terhadap kebijakan manajemen.

Khusus bagi yang vocal, saya sebagai pemimpin perusahaan mesti hati-hati dan siap adu argumen bila ada suatu kebijakan yang dikritisi.
Tentu saja bagi kepentingan manajemen, barisan vokal sangat merepotkan dan bikin tidur tidak nyenyak. Apabila datang saat hitung menghitung bonus atau kenaikan gaji karyawan, sudahlah pasti aku memakai strategi argumen yang harus lebih baik dari barisan vokal.

Barisan vokal sangat disukai oleh banyak karyawan. Itu makanya mereka dipercaya menjadi pengurus serikat pekerja. Sedang barisan 'cari muka' adalah para karyawan yang dekat dan disenangi manajemen. Mereka adalah mata-mata manajemen.
Tahun berganti tahun, seiring makin meningkatnya biaya produksi dan biaya operasional perusahaan, maka aku mencari cara untuk 'mengenyahkan' barisan vokal dari kepengurusan serikat pekerja, yang nanti akan digantikan oleh barisan 'cari muka' yang disukai oleh manajemen.

Maka segera saja aku menyusun skenario rekayasa agar barisan vokal terpancing untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Berkat partisipasi aktif dari barisan cari muka, terjadilah demo mogok kerja yang dikomandoi oleh barisan vokal. Demo itu berawal dari berita yang belum pasti yang sengaja dihembuskan-hembuskan oleh barisan cari muka atas petunjuk dan arahan dari diriku sebagai sutradara rekayasa.
Demikianlah akhirnya melalui persidangan yang berkali-kali, aku berhasil mendepak barisan vokal dari kepengurusan serikat pekerja. Dan kini ketika aku sudah pensiun, kenangan lama itu timbul kembali seiring pemberitaan tentang gonjang ganjing mafia pajak dan mafia hukum yang penuh tipu daya dari sutradara rekayasa. Pertanyaannya siapakah sang sutradara itu ?

Selasa, 25 Januari 2011

Sebatas Retorika saja


Di sebuah ruangan aula ada ratusan pasang mata yang sore itu mendengarkan diriku saat menyampaikan kuliah tentang ajaran Islam soal pelayan masyarakat atau 'khadimul ummat'.

Melihat perhatian audien dengan berbagai pertanyaan yang diajukan saat sesi tanya jawab, aku berkesimpulan baik materi ceramah maupun diriku yang menyampaikannya mendapat respon positif dari para hadirin yang umumnya para kader sebuah partai politik yang mencanangkan nomer tiga besar di pemilu 2014 nanti.

Dalam ceramah yang berlangsung selama satu jam setengah itu, aku banyak mengambil contoh dari akhlak Rasul saw dan juga para sahabat beliau yang mulia. Yang kesemuanya berangkat dari rasa ikhlas untuk 'rela berkorban' demi orang lain atau rakyat yang mereka pimpin apapun latar belakang keyakinan agamanya.

Seorang muslim harus gaul habis namun tetap memegang teguh prinsip keyakinannya tanpa ikut larut arus negatif. Misalnya ikut judi atau miras. Begitu pula untuk tingkat Rt/Rw harus 'ringan tangan' dan 'ringan kaki' untuk membantu program kerja bhakti. Dan tanpa segan-segan rela meminjamkan mobilnya jika ada tetangga yang sangat memerlukan misalnya untuk ke rumah sakit.

Pendek kata, inti dari ceramah tentang khadimul ummat yang aku sampaikan adalah bagaimana sikap yang terbaik dalam bermasyrakat yang heterogen atau majemuk agar tidak menjadi pribadi 'kuper eksklusif'. Kepedulian sosial adalah kata kuncinya.

Sesampainya di rumah usai menyampaikan kuliah tersebut, istriku bilang malam ini aku diundang rapat rt. Namun aku berkata, aku sedang kurang sehat.
Besok paginya ada tetangga yang mau pinjam mobil karena anaknya mau 'khitan' namun aku berkata, mobilku mau masuk bengkel.
Sore harinya saat sedang nonton tv, tetangga sebelah mengajakku main bulutangkis sambil ngobrol santai. Namun aku menolak dengan alasan sedang capek.
Malam hari saat bercanda dengan anak, ada teman meminta sumbangan konsumsi kerja bhakti, aku hanya memberi sedikit uang padahal di dompet ada banyak uang.
Besok pagi usai sholat subuh tiba-tiba telpon rumah berdering, ternyata aku diundang acara kerja bhakti, namun lagi-lagi aku beralasan mau pergi ke kantor meski hari minggu karena ada pekerjaan di kantor.

Ternyata harus kuakui, kalo hanya sekedar beretorika memang mudah namun dalam kerja nyata dan nyata kerja sangatlah sulit. Entah sampai kapan !?

Minggu, 23 Januari 2011

Hanya Teka-Teki Silang


Sejak Gayus membikin heboh negeri ini. Diriku sering mendapat pertanyaan dari rekan kerja maupun para tetangga di rumah. Maklumlah sejak lama mereka mengenalku sebagai pengamat politik tingkat 'warung kopi, namun cukup lumayan dalam memberikan pandangan ataupun ulasan terhadap fenomena perpolitikan yang terjadi.

Senen pagi itu sebagaimana biasanya aku tidak langsung menuju ruang kerja. Masih ada waktu beberapa menit yang bisa kupergunakan untuk duduk di kantin kantor sambil sarapan dan juga ngobrol dengan sesama rekan kerja.

Sudah dapat kuduga, topik pembicaraan mereka yang duduk sarapan pagi di kantin adalah seputar 'kesaktian' Gayus yang dapat menari-nari terbang kesana- kemari.

Dan saat melihat aku datang dan duduk di antara mereka, topik pembicaraan semakin panas dan seru dengan disertai sumpah serapah untuk Gayus. Mereka ingin aku memberi tanggapan, namun terhambat oleh lonceng jam masuk kerja yang berbunyi.

Saat istirahat siang tanpa basa-basi lagi para rekan kerjaku yang sejak pagi menyimpan rasa ingin tahu tentang apa dan mengapa makhluk yang bernama Gayus itu, langsung meminta diriku memberi penjelasan.

Maka seluruh karyawan kantor yang sedang berada di kantin untuk makan siang tanpa aku sadari mereka mendengarkan penjelasan tentang fenomena Gayus dalam kacamata pengamat warung kopi seperti diriku.

Apa yang terjadi saat ini di negeri kita adalah suatu tontonan yang tidak baik untuk pendidikan generasi muda. Karena generasi muda seakan diajarkan sesuatu yang tidak jujur. Mereka yang dipundaknya ada amanah untuk menegakkan hukum ternyata mentalnya ambruk oleh rupiah.
Hukum positif di negeri kita seakan dalam kendali para mafia yang beruang 'unlimited'. Memerangi musuh dari luar lebih mudah ketimbang memerangi musuh yang menjalar-jalar bagai rayap di dalam tubuh bangsa kita.

Musuh bangsa kita berada di tengah-tengah bangsa kita sendiri. Sedihnya rayap seperti Gayus sudah terlalu banyak dan entah perlu waktu berpa lama untuk memusnahkannya !?

Adapun siapa di belakang Gayus ? Suatu pertanyaan yang hanya membuat rakyat makin pusing di tengah problematika hidupnya. Teka-teki silang itulah jawaban dari pertanyaan terus siapa dong ?
Yang pastinya bila kasus Gayus di ungkap dan di bongkar bersiaplah menyaksikan penjara yang penuh koruptor akan semakin penuh saja.
Kiranya ini merupakan etape yang harus di lewati oleh bangsa kita yang Insya Allah bila dapat melewatinya suatu hari akan menjadi bangsa yang kuat dengan hukumnya yang berwibawa.
Perlu keberanian memang untuk menumpas para mafia itu, sebagaimana keberanian menumpas pemberontakan G30S/PKI dulu. Tanpa itu maka teka-teki silang bangsa kita makin tak terjawab.
Dan bagi rakyat yang sadar dan harus sadar, perkembangan di negeri kita hendaknya terus dijadikan bahan obrolan diskusi di manapun. Semoga dengan begitu kita dapat mengawal perjalanan sejarahnya.
Di anatara rekan kerja ada yang masih ingin bertanya, namun lonceng jam masuk telah berbunyi usai sudah ceramah tentang Gayus dan hukum di kantin kantor kami.

Minggu, 16 Januari 2011

Dulu Asing Sekarang Trendy


Masih segar dalam ingatan saat banyak pelajar putri sebuah SMA negeri harus keluar dari sekolahnya hanya karena memakai busana muslimah atau berjilbab. Begitu pula saat karyawati sebuah perusahaan harus menghadapi pilihan, untuk tetap berjilbab dan dipecat atau tetap berkerja dengan syarat mau melepas jilbabnya.

Saat itu tidak jarang perasaan rendah diri menghinggapi seorang muslimah yang dengan busana muslimahnya mencoba tampil di tengah pergaulan kantor yang serba berbusana modis. Maka yang terjadi adalah praktek 'bongkar pasang' jilbab atau busana muslimah. Dalam pergaulan di lingkungan rumahpun tidak sedikit yang merasa asing bila harus berbusana muslimah. Kecuali saat menghadiri acara pengajian atau kematian saja.

Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam, adalah sebuah negeri yang masuk dalam skenario 'de Islamisasi yang dilancarkan oleh para musuh Islam sejak jaman penjajahan dahulu. Atmosfer de Islamisasi sangat terasa selama PJPT pertama selama 25 tahun kekuasaan rezim orde baru. Pada saat itu kebebasan berbusana muslimah termasuk yang diperketat aturannya.

Memasuki masa 25 tahun kedua atau PJPT 2 atmosfer kebebasan berIslam sedikit demi sedikit makin berhembus kencang. Hal ini dimulai sekembalinya alm Presiden Soeharto dari tanah suci.
Meski ada yang mengistilahkan dengan 'ijo royo-royo' namun era kebebasan dalam keberIslaman makin terasa pasca reformasi.
Kini busana muslimah seakan menjadi sesuatu yang sedang nge'trend. Dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi negeri maupun swasta, karyawati bank maupun para dokter wanita tidak canggung lagi menenakan busana muslimahnya.

Bila Saat ini kita berkunjung ke pasar tanah abang misalnya, banyak pedagang busana muslimah yang akan kita jumpai. Ini menandakan betapa busana muslimah yang dulu dianggap asing sekarang menjadi sesuatu yang trendy. Semoga pula ini suatu pertanda bahwa kehidupan keberIslaman semakin maju dan semarak di bumi NKRI yang sama-sama kita mencintainya. Semoga

Jangan Paksa Aku Untuk Berbohong


Tepuk tangan meriah membahana dari segenap hadirin saat aku menjabat tangan pimpinan kepala cabang yang aku gantikan dalam acara 'pisah sambut' di sebuah hotel berbintang.

Malam 'pisah sambut' itu begitu meriah, karena dihadiri banyak karyawan cabang perusahaan tempat aku menjabat sebagai kepala cabangnya yang baru. Apalagi saat aku didaulat untuk tampil membawakan lagu. Suasana makin meriah saja.
Seperti diriku mereka yang hadir juga membawa serta para istrinya.

Begitulah sekelumit acara pisah sambut yang dapat kuceritakan kepadamu saat memulai tugas sebagai kepala kantor cabang.

Selanjutnya hari demi hari dan bulan berganti bulan, harus aku akui memang enak menjadi kepala cabang dengan segala fasilitasnya. Ada rumah dinas, mobil dinas, juga biaya pengobatan keluarga yang kesemuanya ditanggung oleh perusahaan.

Genap hampir setahun menjabat sebagai kepala cabang, aku berkesempatan meneliti secara detil laporan keuangan perusahaan.
Pagi itu aku memanggil kepala keuangan cabang, lalu coba dialog dan bertanya padanya terhadap kejanggalan sebuah laporan keuangan. Mulanya ia coba berkelit terhadap temuan itu. Namun kemudian ia tidak bisa mengelak. Nampak olehku keringat dingin terbit di kening kepala keuangan cabang ini. Setelah dengan nada keras aku membentaknya. Hal ini terpaksa aku lakukan karena ia berusaha menutupi ketidak jujuran. Aku berbicara empat mata dengannya dari jam 8 pagi hingga kumandang azan zhuhur terdengar.

Esok paginya seluruh staf keuangan aku kumpulkan. Semua berkas laporan keuangan aku suruh bawa dalam rapat. Dan kuteliti satu persatu. Rapat suasananya tegang berlangsung hingga maghrib. Hanya istirahat saat sholat atau makan siang saja.
Meski yang ku ajak rapat hanya khusus staf divisi keuangan namun dampaknya terasa ke seluruh bagian kantor cabang.

Aku tiba di rumah sudah malam. Malam itu tidak seperti biasanya aku tidak enak makan. Istriku bertanya ada apa ?
Lalu kuceritakan apa yang ku alami di kantor selama hampir setahun menjabat sebagai kepala cabang. Ternyata penyakit kebohongan atau ketidakjujuran sudah merajalela selama bertahun tahun sejak sebelum aku menjabat di kantor cabang ini.

Keesokan harinya, semua kepala divisi aku kumpulkan. Satu persatu aku pandang wajah anak buah ini dalam-dalam. Mereka ada yang menunduk, ada yang coba tegar memandangku.

Ku katakan kepada mereka untuk tidak usah takut,selagi mereka jujur bicara apa adanya. Sebagai kepala cabang saya tidak akan melaporkan mereka secara pribadi ke kantor pusat. Aku berkata, bahwa mungkin hanya diriku kapala cabang yang paling singkat menjabat dan bertugas di kantor ini.

Mendengar kata-kata ini, sontak wajah dan mata para kepala divisi menatapku.
Di antara mereka coba bertanya mengapa ? Toh ketidak jujuran ini sudah bertahun lamanya sejak aku belum bertugas dan menjabat di kantor cabang ini.

Aku berkata lirih kepada mereka, jangan paksa diriku untuk berbohong. Kalimat ini pulalah yang aku pakai saat istri bertanya mengapa mengajukan pengunduran diri sebagai kepala cabang ?

Tepat setahun setengah aku bertugas di kantor cabang itu, akhirnya permohonan pengunduran diri ini diterima oleh pimpinan di kantor pusat.

Sejak pagi hari, halaman rumah dinasku dipenuhi oleh anak buah yang akan menyampaikan ucapan selamat jalan dan selamat berpisah. Karena memang hari itu aku dan keluarga pindah ke Jakarta. Untuk selanjutnya aku dinas sebagai staf biasa di kantor pusat.